Metode Dialektika dalam Berfilsafat
Metode
Dialektika dalam Berfilsafat
Dalam buku Lysis[1], Platon
menggambarkan proses dialektika antara Sokrates dengan Menexenos dan Lysis
tentang persahabatan. Dialektika yang terjadi antar tiga orang tersebut
menggambarkan sebuah proses yang tidak begitu saja mempercayai sesuatu sebagai
kebenaran yang mutlak, melainkan mempertanyakannya dengan cara menegasi atau
mencari “yang tidak” sehingga selalu memunculkan kemungkinan lain.
Dalam sebuah proses dialektika tentang persahabatan,
Sokrates mengemukakan dua buah tesis. Tesis pertama yang dikemukakan ialah
“yang sama niscaya selalu membutuhkan sahabat yang sama” (to homoion to homoio anagke aei philon einai). Hal ini berarti
bahwa orang baik akan bersahabat dengan orang baik, sedangkan orang jahat
bersekongkol dengan sesama komplotan jahat.
Tesis tersebut disanggah dengan sebuah bukti bahwa “yang sama belum tentu
bersahabat dengan yang sama”. Misalnya: “yang sama-sama jahat, sangat tidak
mungkin untuk bersahabat” dan begitu pula dengan “yang sama-sama baik”. Orang
baik selalu dapat mencukupi dirinya sendiri sehingga tidak akan membutuhkan
apapun dari sesama yang baik. Orang yang tidak membutuhkan apapun dari orang
lain tidak akan dapat mengapresiasi. Selanjutnya, tidak mungkin ada hubungan
saling mencintai dalam ketidakmampuan untuk mengapresiasi.[2]
Tesis kedua ialah “persahabatan muncul dalam hal-hal
yang berlawanan”. Justru pada hal-hal yang paling berlawanan, ditemukan
persahabatan. Segala hal menginginkan (epithumein)
bukan yang sama dengannya, tetapi apa yang berlawanan dengannya. Akan
tetapi, tesis ini juga ditentang dengan pendapat bahwa sesuatu yang membenci
tidak dapat bersahabat dengan sesuatu yang penuh kebencian.[3]
Proses dialektika tidak akan pernah menemukan
kebenaran akhir yang absolut dan selalu menemui jalan buntu (aporia). Justru sebaliknya, proses ini
dapat menghasilkan ketidakjelasan yang tetap terbuka terhadap kemungkinan lainnya.
Platon berpendapat bahwa persahabatan akan terjalin jika ada pihak ketiga,
yakni kebaikan. Dengan kata lain, jika ada kebaikan, maka akan terjalin
persahabatan antar dua pihak yang terlibat. Jadi, persahabatan itu bersifat
segitiga (triangular). Sementara itu, kesimpulan yang dapat ditarik hanya bersifat
sementara karena tetap terbuka bagi kemungkinan lainnya. Setyo Wibowo, dalam
artikel “Persahabatan Selalu Segitiga”, menguraikan bahwa kebaikan dapat
diartikan pula sebagai sebuah kepentingan. Sebagai contoh, beberapa partai
politik di Indonesia yang memiliki kepentingan yang sama demi kemenangan Pemilu
Legislatif dan Presiden-Wakil Presiden 2014 saling berkoalisi. Faktor utama
yang mempengaruhi koalisi atau persahabatan antar partai politik tersebut tidak
lain adalah kepentingan yang sama.[4]
Dalam usaha memecahkan persoalan mengenai persahabatan,
Sokrates mencoba berdialog, meskipun tidak pernah ditemukan kesimpulan akhir.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa dialektika tidak mempercayai suatu
kebenaran sebagai kebenaran mutlak tetapi juga mempertanyakannya dengan cara
menegasi sehingga dapat membuka kemungkinan lain. Dalam berfilsafat, metode dialektika
sangat diperlukan untuk merangsang sikap kritis terhadap setiap persoalan.
Solusi merupakan hal yang tidak perlu dijadikan tujuan akhir, yang terpenting
ialah tetap terbuka pada kritik dan bertanggungjawab dengan argumentasi yang
diungkapkan.
Daftar Pustaka
Wibowo,
Setyo. Penj., Mari Berbincang Bersama
Plato: Persahabatan (Lysis). Jakarta: Ipublishing, 2009.
Wibowo,
Setyo. “Persahabatan Selalu Segitiga.” Basis
(Nomor 01-02, Tahun Ke-63, 2014): 14-23.
[1] Setyo Wibowo, penj dan peny., Mari Berbincang Bersama Plato:
Persahabatan (Lysis), Jakarta: Ipublishing, 2009, 56-57.
[2] Setyo Wibowo, penj dan peny.,.
56-57.
[3] Setyo Wibowo, penj dan peny.,.
60-61.
[4] Setyo Wibowo, “Persahabatan
Selalu Segitiga,” Basis (Nomor 01-02, Tahun Ke-63, 2014): 14-23.
Commentaires
Enregistrer un commentaire