Kepribadian Indonesia Modern (Review)


KEPRIBADIAN INDONESIA MODERN[1]
(Suatu Penelitian Antropologi Budaya - Y. Boelaars)


A.           Perkembangan Martabat Manusia
          Martabat berarti pangkat, derajat atau konsep moralitas yang menentukan nilai seorang sebagai pribadi[2]. Martabat manusia berkembang dari waktu ke waktu. Perkembangan martabat manusia membutuhkan jangka waktu pendewasaa yang jauh lebih panjang daripada jangka waktu yang dibutuhkan binatang. Relasi dan kontak badani yang intim dengan orang tuanya terlebih dengan ibunya dapat membangun suatu basic trust[3] dan basic fear[4] dalam diri anak-anak.[5] Relasi tersebut menunjukkan adanya keterbukaan dasar antara anak dengan orang lain (orang tua). Selanjutnya, keterbukaan dasar itu membawa anak-anak untuk memperhatikan dan meniru apa yang ia lihat di sekitarnya.
          Perkembangan anak-anak dimulai dari fase oral dan anal di mana mereka menemukan kenikmatan dengan cara memasukkan apapun di mulut dan memainkan duburnya. Manusia berkembang bukan terlebih karena kemampuan tangannya melainkan karena perkembangan akal budinya. Manusia juga mengalami perkembangan karena pertemuan mereka dengan dunia sekitarnya. Mereka mengembangkan salah satu pandangan hidup tentang gejala-gejala dan peristiwa-peristiwa yang ditemukan dalam alam sesama di sekitarnya, di dalam alam sesama manusia dan alam baka yang diduganya terdapat di balik kehidupan sehari-hari. Dengan kata lain, manusia hidup dalam dunia ekonomis, sosial dan religius. Keterbukaan serta kesanggupan manusia untuk melihat dan mempergunakan daya-daya simbolik di sekitarnya memungkinkan manusia mengembangkan unsur-unsur martabatnya yang manusiawi.
          Dalam tulisan ini, akan dibahas mengenai perkembangan kepribadian masyarakat Indonesia dari masyarakat tradisional ke masyarakat modern. Perkembangan kepribadian itu akan dianalisa dari pola-pola kehidupan masyarakat yang berdasarkan cara mereka mencari nafkah atau mata pencaharian mereka, yaitu pola hidup kaum peramu, petani ladang, petani sawah dan pesisir.

B.            Kepribadian Indonesia
          Dari pembahasan mengenai perkembangan martabat manusia secara umum tersebut, kita hendak beranjak lebih spesifik lagi tentang kepribadian Indonesia. Kepribadian di sini berarti keseluruhan sifat-sifat yang merupakan watak orang dan menentukan martabat seseorang. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi perkembangan martabat manusia antara lain: daya rohani polimorf anak-anak, kontak anak dengan orang tuanya, keadaan bahasa, pelajaran teknik-teknik baru, penghargaan diri atas suatu tingkat yang tidak bersifat biologis, rasa keheranan, daya melihat perlambangan, cara berpikir analitis dan sintetis, kesadaran dan kemuliaan dan ketidakmampuan manusia. Sementara itu, martabat manusia Indonesia terwujud dalam berbagai pola kebudayaan Indonesia. Dengan demikian, mentalitas-mentalitas akan terbentuk dari pola-pola kebudayaan tersebut. Selanjutnya akan dibahas mentalitas dari pola hidup kaum peramu, petani ladang, petani sawah, pesisir dan pengintegerasian unsur-unsur mentalitas tersebut dalam kebribadian Indonesia modern.

1.        Pola Hidup Kaum Peramu
          Mentalitas hidup kaum peramu didasarkan pada pola hidup suku-suku di Papua, yakni Suku Marind Anim, Jahray dan Asmat. Suku-suku tersebut mengandalkan hidup sepenuhnya dari apa yang tersedia di hutan. Mereka tidak memiliki kebun yang tetap untuk diolah dan menjadi sumber penghidupan. Oleh sebab itu, mereka hidup dengan mengumpulkan dan menagkap apa saja yang mereka butuhkan. Kaum peramu hidup di dalam hutan dan rawa-rawa dengan cara mengembara dan berpindah-pindah tempat.

a)        Pandangan Hidup terhadap Alam Semesta
            Seorang peramu memandang dirinya hidup bersama wujud-wujud lain di dalam alam setempat atau “berada dengan”. Apapun yang dialaminya dipandang sebagai realitas yang diberi. Hal ini membuat mereka memiliki mental konsumtif. Orang yang mengatur penggunaan apa saja yang diberi adalah diri sendiri. Oleh karena itu, nasib apapun yang dialami, baik itu keberhasilan maupun kegagalan dianggap sebagai hasil dari usaha sendiri. Panenan harian sangat menentukan nasibnya. Untungnya, kaum peramu mampu menahan lapar berhari-hari dan makan sebanyak-banyaknya ketika tiba waktu panen.
            Seorang peramu dikenal sebagai seorang improvisator yang berarti mampu mencoba-coba sendiri apapun, entah itu bermanfaat atau mesti diabaikan. Kaum peramu berusaha menjaga kesehatan badannya sendiri karena menyadari kesehatannya sangat berguna untuk mencari makan. Mereka juga sangat peka terhadap segala sesuatu yang melampaui diri sendiri dan keterbatasan-keterbatasannya yang menyadarkan mereka untuk bekerja sama dengan sesamanya. Dalam kehidupan sehari-hari, mereka bukanlah tipe orang penakut melainkan memiliki harga diri yang tinggi. Akan tetapi, dari lubuk hati mereka, ada ketakutan yang mendalam bahwasanya segala sesuatu yang telah diberikan sangat mungkin untuk diambil kembali daripadanya.

b)       Pandangan Hidup terhadap Alam Sesama
               Kaum peramu memandang istilah “sosial” sebagai sesuatu yang timbul karena situasi “darurat”. Kaum peramu menyadari kepentingan hidup dan kerja bersama tetapi mereka hanya akan mendekati sesamanya sejauh kebutuhan menuntut. Kalau ada tanda-tanda bahwa balasan dalam bentuk sumbangan tidak akan datang, mereka akan memilih untuk mundur. Rasa hormat di antara anggota-anggota kelompok tidak berdasarkan generasi, umur atau jenis kelamin, melainkan kepada orang yang lebih kaya dan berani. Dalam kehidupan sosial kaum peramu, mereka mengenal hukum perkawinan akan tetapi intervensi orang yang berkuasa dalam kelompok sangat menentukan siapa menikah dengan siapa. Orang-orang besar dalam kelompok kaum peramu lebih memilih untuk tidak diganggu oleh peraturan-peraturan yang berlaku. Pola pergaulan mereka selalu menonjolkan resiprositas[6] di mana mereka mengharapkan imbalan langsung dari sesamanya.

c)        Pandangan Hidup terhadap Alam Baka
            Kaum peramu lebih dikuasai oleh cara berpikir sintetis di mana mereka merasa berada di dalam suatu dunia yang hidup. Kaum peramu memandang segala sesuatu itu berjiwa tetapi bukan “diisi dengan roh”. Dengan demikian, kaum peramu tidak memandang kesatuan jiwa dan badan sebagai suatu dualitas dan suatu dwitunggal. Dengan kata lain, seorang manusia dipandang sebagai badan yang berjiwa atau suatu jiwa yang berbadan. Jadi, segala sesuatu dipandang memiliki akal budi dan kemauan sendiri.
            Kaum peramu bersikap hormat terhadap keseluruhan yang melampaui dirinya sendiri. Rasa hormat itu ditujukan kepada matahari, bulan dan bumi serta dalam pengalaman rasa bersalah apabila mereka tidak menaati undang-undang. Rasa hormat itu terwujud nyata dalam sikap rela menyesuaikan diri kepada hukum langit dan bumi.
            Dalam kedudukannya di alam baka, manusia dipandang menduduki tempat tertinggi, baik mereka yang masih hidup atau sudah mati. Kaum peramu mencoba bergaul dengan daya dinamistis dan animistis yaitu kekuatan ajaib yang tidak kelihatan dalam benda, kata, perbuatan dan oknum. Moralitas kaum peramu terdiri atas kerelaan mereka mempertahankan hubungan yang baik dengan kekuatan-kekuatan dunia yang tampak dan yang misterius.

d)       Pengintegerasian Unsur-Unsur Mentalitas Peramu dalam Kepribadian Indonesia
            Secara spontan, orang Indonesia tidak suka ditonjolkan atau dipandang menonjolkan diri. Sikap menonjolkan diri hanya membuat mereka merasa tersisih dari komunitasnya. Mereka meyakini bahwa alam Indonesia merupakan alam yang kaya. Keyakinan ini mengakibatkan usaha reboisasi, yang pada mulanya tidak memperoleh perhatian dari pihak rakyat. Hidup konsumtif dipandang biasa dalam masyarakat Indonesia. Sifat lain yang menjadi ciri khas bangsa Indonesia ialah keinginan untuk dipuji orang asing.
            Kebanyakan orang Indonesia malu minta pertolongan atau keterangan dari orang lain. Hal ini karena mereka lebih terbiasa untuk bekerja sendiri dalam segala hal. Baik kaum terpelajar maupun yang kurang terdidik menganut cara berpikir sintetis, yakni tidak membedakan secara tajam hal-hal profan dengan hal-hal sakral. Hal ini menunjukkan adanya pendapat umum bahwa semua gejala yang terjadi lebih daripada keadaan yang tampak. Keyakinan terdalam orang Indonesia ialah bahwa orang yang hidup dan mati dijunjung tinggi oleh yang ilahi di mana menghormati dan merasa syukur kepada si pemberi segala-galanya merupakan suatu sikap umum.

2.        Pola Hidup Kaum Petani Ladang
          Pola hidup petani ladang dapat kita temukan dalam kehidupan masyarakat di luar daerah Pulau Jawa, Lombok Barat dan Bali. Dunia kaum petani ladang terletak di sekitar hutan-hutan dan rawa-rawa. Kaum petani ladang berdiam secara menetap di suatu tempat tertentu dan hidup dari hasil pertanian mereka. Pola hidup mereka tidak lagi konsumtif seperti kaum peramu melainkan lebih produktif. Dengan demikian, kehidupan bersama pun menjadi lebih menetap dalam suatu masyarakat dan tidak lagi berpindah-pindah.

a)        Pandangan Hidup terhadap Alam Semesta
            Dunia kediaman kaum petani ladang dipandang sebagai salah satu bagian kecil dari dunia yang luas, yakni desa dengan kehidupan kesehariannya. Sementara itu, bagian besar dari dunia ialah langit dan bumi dengan kehidupan misterius yang terkandung di dalamnya. Kaum petani ladang tidak mengambil sebagian dari dunia untuk diri sendiri, penuh keprihatinan dan suka memelihara, karena mereka hidup dari ladang mereka. Tempat yang sudah dipilih menjadi dunia yang diperhatikan dan dipelihara. Mereka lebih merasa aman ketika berada di dalam desa, tapi merasa cemas dan gugup ketika berada di dunia luar yang luas, yakni di luar desanya.
            Ketertutupan lingkungan desa adalah syarat untuk kehidupan yang terjamin dan aman. Arti kebersamaan di sini ialah keadaan bekerja sama orang lain seperti membuka ladang. Oleh sebab itu, pekerjaan bersama terdiri atas tawar-menawar tenaga yang saling berhadapan dan saling melengkapi satu sama lain. Jarak antara menanam dan panen membuat mereka belajar bersabar, menunggu waktu dan tempat. Maka dari itu, pengalaman generasi-generasi sebelumnya menjadi amat berharga dalam kehidupan kaum petani ladang.

b)       Pandangan Hidup terhadap Alam Sesama
            Dalam kehidupan sosial, kekeluargaan dipandang sebagai sikap dan sifat dasar semua anggota yang mempunyai hak dan kewajiban. Sementara itu, rule of man[7] lebih diutamakan daripada rule of law[8] yang berarti syarat hidup pertama ialah kepentingan umum mendahului kepentingan pribadi. Dengan kata lain hukum adat mengikat semua orang setempat.
            Hak dan kewajiban anggota-anggota dirumuskan sangat rinci dan ditaati dalam suasana kekeluargaan. Mereka memilih peraturan-peraturan tertentu yang menjamin syarat-syarat hidup keluarga besar. Adat sebagai bentuk hidup yang mewujudkan nilai-nilai yang mutlak diikuti semua anggota. Syarat hidup lainnya dirumuskan dalam hubungan dengan hak-hak primer manusia antara lain hak hidup, hak milik, hak perkawinan, hak atas kebenaran dan hak atas nama baik.
            Kaum petani ladang memilih sistem cross cousin matrilateral[9]  karena di dalam sistem itu, fungsi keibuan wanita mendapatkan jaminan. Mereka juga memilih prinsip milik tanah bersama (teritorial) dan prinsip lapisan/tingkatan (hierarkis). Prinsip teritorial ini membedakan hak dan kewajiban di antara pendiri-pendiri desa dan para pendatang. Sementara itu, prinsip hierarkis membagi penduduk desa menjadi kelompok bangsawan, orang merdeka dan budak. Hal ini mempengaruhi hak dan kewajiban dalam bidang pertahanan hidup dan kelanjutan hidup.

c)        Pandangan Hidup terhadap Alam Baka
            Kaum petani ladang menyadari keterbatasan tenaga dan hasil pekerjaan mereka. Oleh sebab itu, mereka mengatasi keterbatasaan itu dengan cara menerima seorang tokoh pemersatu. Tuhan didekati sebagai sang Pemersatu yang tertinggi sedangkan kaum petani ladang memakai perantara seperti imam/dukun, arwah-arwah leluhur, roh dan dewa sebagai pemersatu. Selain itu, mereka  memakai benda-benda sakral seperti doa, korban, sumpah dan pengadilan ajaib. sebagai perantara kepada sang pemersatu tertinggi. Perantara-perantara tersebut dipandang memiliki kuasa karena Yang Tertinggi memberi kuasa kepada mereka.

d)       Pengintegerasian Unsur-unsur Mentalitas Petani Ladang dalam Kepribadian                     Indonesia
            Kaum petani ladang lebih mengutamakan keharmonisan dan keterikatan. Bekerja sama dan hidup bersama sebagai suatu yang natural. Sementara itu, peraturan kurang memperhatikan prinsip-prinsip hukum. Mereka juga lebih suka saling mendekati melalui hadiah-hadiah. Hukum di Indonesia selalu diaduk-aduk dengan rasa kasihan. Kontrol yang efisien atas pekerjaan orang lain tidak bisa diterima. Hal ini lebih disebabkan kaum petani ladang tidak memikirkan the right man in the right place[10]. Pengintegerasian unsur mentalitas yang lain ialah semangat keagamaan petani ladang yang menentukan bentuk semangat keagamaan yang konkret di Indonesia.

3.        Pola Hidup Kaum Petani Sawah
          Kehidupan kaum petani sawah tidak jauh berbeda dengan kehidupan kaum petani ladang, hanya saja mereka lebih sedenter atau lebih menetap hidupnya dibandingkan kaum petani ladang. Mereka umumnya hidup di dekat sawah-sawah. Selain itu, mereka juga selalu mencari keseimbangan antara apa yang ia butuhkan bagi keluarga dan apa yang ia butuhkan untuk relasinya di luar lingkungan keluarganya. Suatu keseimbangan kosmis merupakan cita-cita kaum petani sawah.
          Tinjauan pola hidup kaum petani sawah dapat dilihat dari pola hidup masyarakat di Pulau Jawa dan Bali. Walaupun kedua pola tersebut berada dalam satu kelompok, antara Jawa dan Bali memiliki perbedaan pula. Kaum petani sawah di Bali lebih peka terhadap kerukunan hasil pertentangan, sedangkan petani sawah Jawa lebih peka terhadap kerukunan anasir yang selalu rela menyesuaikan diri.
a)        Pandangan Hidup terhadap Alam Semesta
            Dalam kehidupan kaum petani sawah, pengairan atau irigasi menentukan nasib petani sawah. Hal ini mempengaruhi pengelompokan orang di desa. Mereka menggarap  sawah-sawah milik mereka masing-masing. Prinsip teritorial lebih diutamakan daripada prinsip geneologis. Pola hidup kaum petani sawah sering digambarkan sebagai: tempat, teras dan pusat. Sementara itu, penghargaan tempat mempengaruhi cara bekerjasama. Konsep waktu dianggap fungsional yakni sesuai dengan penanggalan untuk menentukan tindakan yang tepat, misalnya: melihat gejala musim.

b)       Pandangan Hidup terhadap Alam Sesama
            Pola hidup masyarakat kaum petani sawah lebih bilateral, tidak seperti petani ladang yang multilateral. Hal ini berarti bahwa kerabat ayah dan ibu disapa dengan gelar-gelar yang sama, sementara kerabat yang jauh kurang begitu diingat. Sementara itu, modal rumah tangga berasal dari kedua belah pihak dan warisan dibagi oleh putra sulung di antara saudara-saudarinya. Adanya pandangan the right man is always in the right place mengakibatkan berkembangnya feodalisme, aristokratis dan nepotisme.
            Nilai-nilai yang diutamakan oleh kaum petani sawah antara lain: respek, rukun, rasa sungkan yang melahirkan sikap nrimo ing pandum[11] dan sabar. Sementara itu, hal-hal yang menyangkut kehidupan seksual merupakan suatu natural drive[12] yang tidak masuk bidang moralitas. Hal ini menyebabkan perkawinan tanpa persiapan, demi prestise orang tua, perceraian dan poligami terselubung.

c)        Pandangan Hidup terhadap Alam Baka
            Pola hidup kaum petani sawah mempercayai hal-hal rohani dengan kekuatan unggulnya dapat menguasai hal-hal jasmani. Mereka memang memelihara hal-hal jasmani sebagai suatu syarat yang mutlak untuk bekerja dan mencari nafkah, akan tetapi kehidupan rohani tetap menjadi prioritas utama. Dengan kata lain mereka memandang jiwa dapat menguasai badan.        Penghayatan pandangan religius di Bali dan di Jawa agak sedikit berbeda. Di Bali, kaum petani sawah menyembah Sang Hyang Widi sebagai Yang Pemersatu dalam keseluruhan abadi yang manifestasinya sebagai Brahma (pencipta), Wisnu (pemelihara) dan Shiva (penghancur). Selain itu, mereka juga menghormati dewa-dewa dan roh-roh yang tingkatnya lebih rendah. seperti Batari Durgakali, istri Dewa Shiva.
            Religi dihayati dalam ritus-ritus yang mengiringi peristiwa-peristiwa kehidupan baik pribadi (kelahiran, pengasahan gigi, perkawinan, kremasi) maupun publik (perayaan ulang tahun kuil, pesta bangsawan (tahbisan pedanda, pementasan drama). Aspek dahsyat religi ditonjolkan secara eksplisit dalam Kitab Suci Weda dan dalam berbagai bentuk upacara yang diarahkan pada keselamatan. Di pekarangan rumah ada satu kuil kecil sanggah dimana leluhur dan dewa desa dihormati dengan saji-sajian. Lingkungan desa ada berbagai Pura antara lain: Pura Puseh (berhubungan dengan leluhur), Pura Balai Agung (berhubungan dengan kebutuhan penduduk), Pura Dalem (berhubungan dengan orang mati). Ada pula kuil-kuil lain milik subak-subak. Pesta bangsawan diarahkan kepada suatu pengakuan dan penguatan kesaktian bangsawan. Bangsawan mengutamakan kewibawaan politik religius melalui ritual-ritual, kesenian, bahasa dan etiket. Perayaan-perayaan dipusatkan di sekeliling imam-imam pedanda yang berasal dari kasta Brahmana.
            Sementara di Jawa, penghayatan religius lebih berdasarkan suatu hasil penjalinan tiga mentalitas: kejawen abangan, kejawen priyayi, dan santri Islam. Kerukunan menurut kejawen abangan diritualisasikan dalam perayaan selamatan. Sedangkan dalam sudut pandang priyayi,  religiositas dipengaruhi Hinduisme dan Budhisme India. Sistem raja dan kasta cocok dengan kebudayaan keraton. Sedangkan dalam sudut pandang santri, agama Islam sudah dijawakan. Wali-wali Islam didewakan, kubur mereka menjadi keramat, kata-kata Alquran masuk dunia mantera.
            Kaum petani sawah di Jawa lebih mementingkan penyembuhan keseimbangan psikis. Peran raja dihargai sebagai sumber sakti di samping wahyu ilahi dan peran benda sakral ialah sebagai sumber sakti tambahan. Dalam perwujudan hidup religiusnya, mereka merealisasikan kesatuan hidup melalui seni-seni, misalnya: musik gamelan, keris, batik, bangunan kuil-kuil dll.

d)       Pengintegerasian Unsur-unsur Mentalitas Petani Sawah dalam Kepribadian           Indonesia
            Penghargaan aspek keunikan fungsional dan prinsip-prinsip pengelompokan ditambah lagi dengan pengaruh religi agama asing dalam pola hidup kaum petani sawah cukup mempengaruhi kepribadian masyarakat di Indonesia. Pandangan petani sawah yang bermentalilas priyayi mendorong mereka untuk memandang kepentingan pusat sebagai sumber kewibawaan. Selain itu, mereka juga mengutamakan kerukunan pribadi dan sosial. Pengatur kebijaksanaan masyarakat bukanlah suatu job description[13] atas dasar hukum, melainkan instruksi dan amanat dari atasan. Sementara itu, sistem pemerintahan hirarkis dan aristokratis yang masih dibatasi pandangan petani sawah yang bermentalitas abangan. Jawanisasi diterima sebagai salah satu penyempurnaan pola hidup diri sendiri dan diintegerasikan dalam kehidupan masyarakat non-Jawa. Hal ini menunjukkan bahwa pengaruh Jawa atas kepribadian Indonesia umum diakui pada masa kini.

4.        Pola Hidup Kaum Pesisir
          Kaum pesisir adalah orang-orang yang menduduki pantai-pantai dan muara sungai-sungai. Oleh sebab itu, mereka sering mengaku sebagai suku hilir sungai-sungai tersebut. Menurut sejarah, mereka adalah suku Melayu yang beraktivitas dalam perdagangan antara abad XIV-XVIII yang membawa mereka sampai ke pulau-pulau nusantara. Selain dalam hal perdagangan, mereka juga menyebarkan pengaruh agama Islam. Pola kehidupan kaum pesisir dapat kita lihat dari kehidupan masyarakat Makasar dan Bugis di Sulawesi Selatan. 

a)        Pandangan Hidup terhadap Alam Semesta
            Kebudayaan kaum pesisir bertitik-tolak pada mobilitas yang mendapat perhatian utama dalam dua aspek: material dan ekonomi.  Dari aspek material, kaum pesisir sangat terikat pada sumber mata pencahariannya. Mereka mencari ke mana saja sesuai dengan fasilitas yang diberi dengan cara menghargai mobilitas dan bekerja sama. Selain itu, mereka berpandangan bahwa mencari ialah untuk berdagang. Dalam aspek ekonomi, mereka memiliki karakter untung-rugi yang mendorong mereka untuk senantiasa berpindah-pindah dari satu majikan ke majikan lainnya dengan mengharapkan keuntungan yang lebih besar.

b)       Pandangan Hidup terhadap Alam Sesama
            Peraturan-peraturan dalam hidup bermasyarakat yang dikenal kaum pesisir juga berlandaskan faktor untung-rugi. Dalam kehidupan sehari-hari, persaingan di bidang kewibawaan sangat kentara. Hal ini membuat mereka memiliki karakter mudah tersinggung, cepat marah, menggunakan kekerasan dan mudah cenderung balas-membalas bahkan melakukan pembunuhan. Harga diri yang tinggi menjadi hal yang sensitif. Perasaan itu bersumber pada kesadaran bahwa pola hidup kaum pesisir pantas mendapat penghargaan.

c)        Pandangan Hidup terhadap Alam Baka
            Sebelum pengaruh Islam masuk sekitar abad XVII, penduduk Bugis Makasar sudah menghormati suatu wujud tertinggi yang dipandang menentukan nasib manusia. Pemujaan terhadap nenek moyang dan pemeliharaan benda-benda sakral memiliki peranan penting. Selain itu, pemujaan leluhur tertentu dan pemilikan benda suci menjadi kesatuan kerabat dan gengsi. Dalam upacara-upacara besar keagamaan, benda-benda tersebut dipamerkan misalnya dalam perayaan publik tahunan dan peristiwa kehidupan seorang pribadi. Setelah pengaruh Islam masuk, pola hidup orang pesisir mulai berubah sesuai kewibawaan syariah Islam. Dengan kata lain, pengaruh Islam membawa satu prinsip persatuan baru yaitu, umat yang berpusat pada masjid, persekolahan, dan kegiatan sosial.

d)       Pengintegerasian Unsur-unsur Mentalitas Petani Sawah dalam Kepribadian                       Indonesia
            Pola kebudayaan kaum pesisir bercirikan suatu mobilitas sosial yang berdasarkan rasa haus akan gengsi pribadi dan kelompok. Hal ini serupa dengan gejala-gejala “mencari gengsi” dalam pola hidup kaum petani ladang dan petani sawah. Hanya saja, dalam pola hidup petani ladang, lebih ditekankan kerelaan dasar mereka untuk bekerja sama dengan hasil dari suatu dunia buatan mereka tanpa memperhatikan konflik dan persaingan antar oknum dan kelompok mereka. Sementara itu, dalam pola hidup kaum petani sawah, lebih ditekankan kehendak mereka mengadakan “kerukunan” batin dan lahir daripada persaingan perebutan gengsi. Sedangkan pola hidup kaum pesisir yang berlandaskan untung-rugi dan persaingan kewibawaan, membawa mereka memiliki mentalitas “mencari gengsi”. Oleh sebab itu, unsur “mencari gengsi” ini juga termasuk unsur-unsur yang membentuk kepribadian Indonesia.

C.           Modernisasi Pola-Pola Hidup Indonesia
          Gambaran mengenai kepribadian Indonesia yang berdasarkan analisis pola kehidupan tradisional kaum peramu, petani ladang, petani sawah dan pesisir tentunya tidak dapat mewakili gambaran kepribadian Indonesia secara umum di era modernisasi ini. Dunia yang dihadapi sekarang merupakan dunia Indonesia modern. Hal ini tentu saja membentuk pola hidup Indonesia modern, yakni hasil suatu proses modernisasi yang berlangsung melalui dua jalur: perubahan zaman dan ketahanan diri. Ada sebuah ilustrasi yang sekiranya dapat menggambarkan proses modernisasi, yaitu ilustrasi seorang amatir dan insinyur yang hendak membangun sebuah kandang ayam.
          Seorang amatir akan membuat sebuah kandang ayam dengan langsung melihat bahan-bahan yang ada, menyusun tiang, pintu, dll yang sesuai dengan ukuran, berpikir secara sintetis yang tidak kalah rasional dan logis dari seorang insinyur serta lebih memanfaatkan tenaga dan bakat sendiri. Sedangkan seorang insinyur akan menggambar dulu sesuai instrusksi pemeliharaan ayam (standarnya bagaimana, dll), menyelidiki, memilih, mengolah bahan-bahan yang dibutuhkan sesuai rencana, berpikir secara analitis, yang lebih efisien mencapai tujuan, baru sesudah itu memesan barang dari toko dan ikut merencakan sesuai dengan buku terbitan terakhir.
          Ilustrasi di atas hendak menggambarkan bagaimana seorang modern menggunakan sikap berpikir analitis dan mentalitasnya untuk mengubah dunia manusia. Akan tetapi, nilai-nilai moral yang telah dimiliki tidak boleh dilepaskan begitu saja, karena nilai-nilai tersebut merupakan warisan berharga dari pembentukan kepribadian masyarakat tradisional. Hal ini akan menimbulkan sebuah permasalahan modernisasi di mana nilai-nilai berharga tersebut berusaha dipertahankan. Permasalahan-permasalahan modernisasi tersebut akan diselidiki dalam empat pola-pola hidup yang berdasarkan mata pencaharian:  

1.        Modernisasi dalam Pola Hidup Kaum Peramu
          Proses modernisasi kaum peramu di Papua menjadikan “orang hutan“ menjadi “orang kampung Kristen“ karena pada waktu penjajahan Belanda,  pengaruh agama Kristen masuk sampai wilayah-wilayah mereka. Pengaruh modernisasi membuat perubahan yang cukup signifikan dalam kehidupan kaum peramu. Perubahan-perubahan itu tampak dalam berhentinya kebiasaan perang antar kampung, berkurangnya angka kematian bayi, berkembangnya bahasa umum dan munculnya perayaan-perayaan agama universal sebagai pesta baru. Pemerintah maupun agama mulai mengajarkan pertanian dan pertukangan sebagai sumber pendapatan yang baru. Hal itu membuat kaum peramu yang merupakan para improvisator konsumtif tersebut berubah menjadi lebih  produktif. Akibat dari modernisasi, kaum peramu mengalami suatu lompatan sehingga sejajar dengan manusia modern lainnya meskipun tidak semua ingin mengikuti zaman baru. Pengaruh modernisasi ini cukup mengguncangkan latar belakang kepribadian yang membentuk cara pandang baru.

2.        Modernisasi dalam Pola Hidup Kaum Petani Ladang
          Pola hidup kaum petani ladang mengalami perubahan di segala bidang tetapi sifat dan sikap kepribadian asli mereka masih tetap dipertahankan. Hal ini tampak dalam bidang ekonomi di mana sistem ekonomi tertutup menjadii terbuka. Juga dalam bidang kemasyarakatan, sistem perkawinan ditentukan oleh pengantin-pengantin sendiri bukan atas dasar dijodohkan oleh keluarga mereka. Selain itu, dalam bidang rohani, religi nenek moyang beralih ke agama-agama monoteistis. Ironisnya, sifat dan sikap kepribadian lama di bidang religi masih dipertahankan meskipun sudah beralih ke aliran monoteistis, misalnya masih percaya kepada roh-roh halus, kontak dengan arwah-arwah, dan semacamnya. Beberapa kepribadian tradisional mereka juga masih dipertahankan, antara lain: penghargaan kekeluargaan atlas pola hidup desa, kerelaan menunggu imbalan pada waktunya, kebijaksanaan mengatur dengan keprihatinan, kecenderungan saling mendukung dan mengontrol dan hal-hal lain yang masih menunjukkan bahwa rule of man masih lebih diutamakan daripada rule of law.

3.        Modernisasi dalam Pola Hidup Kaum Petani Sawah
          Proses modernisasi dalam pola hidup kaum petani sawah telah membongkar akar-akar kemasyarakatan asli. Secara umum, ada dua gejala dalam proses modernisasi kaum petani sawah, yaitu perkembangan ekonomi modern dan urbanisasi. Gejala perkembangan ekonomi baru dapat dilihat dalam hubungannya dengan kebudayaan sekarang di Bali yang diwujudkan melalui lapisan bangsawan yang menggunakan hubungan tradisional religius untuk bersama rakyat jelata mengatur ekonomi perusahaan modern. Sementara itu, gejala urbanisasi lebih berkembang di Jawa di mana orang-orang desa mulai beralih ke kota-kota dan berhasil mengintegerasikan diri dalam kehidupan golongan pegawai teras dan hidup dalam dunia nasional serta dunia internasional. Selain itu, gejala-gejala modernisasi sekarang sudah memasuki desa-desa. Adanya sistem koperasi, melalui kredit-kredit bagi yang berekonomi lemah, perbaikan infrastruktur, kesehatan dan pendidikan yang pada akhirnya membawa suatu mentalitas baru. Aspek hierarkis aristokratis melalui administrasi birokratis maupun aspek keseimbangan demokratis melalui suatu peningkatan kesadaran politis pun mengalami perkembangan.

4.        Modernisasi dalam Pola Hidup Kaum Pesisir
          Proses modernisasi dunia kaum pesisir cocok dengan sikap orang yang suka berprestasi atas dasar persaingan gengsi. Pengaruh Islam yang cukup kuat dalam kalangan kaum pesisir pun mengalami modernisasi yang tampak dalam pemurnian penghayatan agama sesuai dengan pandangan ortodoks agama asli. Pembaharuan tersebut merangsang tumbuhnya model dakwah aktif misalnya dalam bentuk proyek-proyek pembangunan, pendidikan dan media masa.

D.           Penutup
          Kepribadian masyarakat Indonesia mengalami perubahan dari waktu ke waktu. Sejalan dengan perubahan kepribadian masyarakat maka berubah pula sistem nilai budayanya. Tingkat perubahan itu ada yang berjalan secara sangat lambat, ada juga yang terjadi secara cepat.[14] Dari pola hidup mencari nafkah masyarakat tradisional, kepribadian masyarakat Indonesia terus menerus berkembang sesuai dengan perubahan zaman. Walaupun tidak semua orang mau masuk dalam perubahan tetapi tetap berusaha mempertahankan nilai-nilai luhur warisan leluhur dalam masyarakat tradisional, pengaruh modernisasi telah sedikit banyak merubah kepribadian masyarakat tradisional. Semoga tulisan ini dapat membantu kita, terutama sebagai warga negara Indonesia untuk lebih mengenali kepribadian kita masing-masing yang telah dihasilkan dari penelitian antropologi budaya. Dengan demikian, kita dapat berefleksi dengan melihat diri kita sendiri dan menyadari faktor-faktor yang membuat kita memiliki suatu karakter dan mentalitas tertentu.

Daftar Pustaka
Boelaars, Y. Kepribadian Indonesia Modern. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 1984.
Hari Kustanto. Watak Budaya Masyarakat (Di) Indonesia (Dalam Diktat Kuliah Antropologi         Budaya Indonesia). Jakarta: STF Driyarkara, 2013. 
I Gede Wiranata. Antropologi Budaya. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2002.
W.J.S. Poerwadarminta. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka, 1986. 

Sumber-Sumber Lain
Bikers Pintar. “Pengertian-Arti Martabat”. http://hondacbmodifikasi.com/pengertian-arti-martabat/           (Diakses tanggal 18 Oktober 2013 pukul 16.30).
Callysta. Tiny Audrey. “Resiprositas”. http://tinykartini.blogspot.com/2012/12/resiprositas.html.   (Diakses tanggal 19 Oktober 2013 pukul 20.30).
Cut Ira Dian Sari. “Basic Trust A…”. http://catatancutira.wordpress.com/2012/03/01/basic-trust-a/           (Diakses tanggal 18 Oktober 2013 pukul 16.30).
Sahrir Bachrudin.  “The Right Man in the Right Place”.             http://sulut.kemenag.go.id/file/file/kepegawaian/nsfw1363470587.pdf  (Diakses tanggal 20           Oktober 2013 pukul 13.30).
Schwimmer, Brian. “Matrilateral Cross Cousin Marriage”.             http://www.umanitoba.ca/faculties/arts/anthropology/tutor/marriage/matxcuz.html.             (Diakses tanggal 20 Oktober 2013 pukul 13.30).





[1] Boelaars, Y. Kepribadian Indonesia Modern. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 1984, 3-72.
[2] W.J.S. Poerwadarminta. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Entri “Martabat”. Jakarta: Balai Pustaka, 1986.  Bdk. Bikers Pintar. “Pengertian-Arti Martabat”.  http://hondacbmodifikasi.com/pengertian-arti-martabat/
[3] Kelengketan dengan kedua orang tua yang sangat mempengaruhi anak pada usia dini (0-2 tahun).  Bdk. Cut Ira Dian Sari. “Basic Trust A…”. http://catatancutira.wordpress.com/2012/03/01/basic-trust-a/ 
[4] Ketakutan akan kedua orang tua yang sangat mempengaruhi anak pada usia dini (0-2 tahun). Tafsiran pribadi berdasarkan http://catatancutira.wordpress.com/2012/03/01/basic-trust-a/ 
[5] Bdk. Hari Kustanto. “Watak Budaya Masyarakat (di) Indonesia” (Dalam Diktat Kuliah Antropologi Budaya Indonesia).  Jakarta: STF. Driyarkara. 2013, 10. 
[6] Istilah yang berarti hubungan timbal balik atau pertukaran.  Bdk. Callysta. Tiny Audrey. “Resiprositas”. http://tinykartini.blogspot.com/2012/12/resiprositas.html. .
[7] Ing. Peraturan adat yang berlaku dalam masyarakat.
[8] Ing. Peraturan yang bersifat yuridis.
[9] Sistem perkawinan yang berdasarkan garis keturunan. Seorang pria diharuskan untuk menikah dengan seorang wanita yang masih satu  keturunan dengan leluhurnya. Bdk. http://www.umanitoba.ca/faculties/arts/anthropology/tutor/marriage/matxcuz.html
[10] Istilah yang menempatkan orang yang tepat pada waktu dan tempat yang tepat pula.   Bdk. Sahrir Bachrudin.  “The Right Man in the Right Place”. http://sulut.kemenag.go.id/file/file/kepegawaian/nsfw1363470587.pdf  
[11] Jw. Menerima bagian masing-masing.
[12] Ing. Dorongan (nafsu) alamiah.
[13] Ing. Aturan-aturan yang tertulis.
[14]  I Gede Wiranata. Antropologi Budaya. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2002, 97.

Commentaires

Posts les plus consultés de ce blog

Semar vs Batara Guru

Objektivitas, Nilai-nilai dan Sains sebagai Pengetahuan Sosial