Sokrates: Kematian sebagai Puncak Ketaatan

Kematian sebagai Puncak Ketaatan

Pengantar
Sokrates merupakan orang pertama yang dikenal sebagai seorang filsuf yang dilahirkan sekitar tahun 469 SM. Ia adalah anak dari seorang pemahat batu yang bernama Sophroniskos dan seorang  dukun beranak yang bernama Phainarete. Istrinya bernama Xantippe yang menjadi ibu dari tiga orang anaknya. Diceritakan bahwa keaadan ekonomi Sokrates pada awalnya tidak mengalami kekurangan, tetapi secara berangsur-angsur, ia jatuh miskin karena terlalu sibuk dengan urusan filsafat.[1]
Pada waktu Sokrates hidup, Athena berada dalam pengaruh para pengajar dari seluruh dunia yang berbahasa Yunani dan hampir sejalan dengan perkembangan sofisme di Athena. Pada saat yang bersamaan, Athena dipimpin oleh seorang yang sangat berpengaruh dan demokratis bernama Perikles. Perikles memperjuangkan cara pemerintahan baru yang konon telah didampingi oleh beberapa ilmuwan yang masyur termasuk Anaxagoras sebagai penasihatnya.[2]
Sokrates juga dikenal sebagai penanya ulung di mana ia sering melakukan interogasi tanpa henti terhadap dirinya dan orang lain tanpa memperpedulikan jabatan atau kedudukan sosial mereka dalam masyarakat. Sokrates berani mengkritik orang-orang yang menganggap diri mereka tahu segalanya dengan mempertanyakan apapun sampai orang-orang itu merasa diri tidak tahu apa-apa. Sokrates sendiri pada akhirnya merasa diri lebih bijaksana bukan karena ia lebih tahu tetapi justru karena  ia menyadari bahwa dirinya juga tidak tahu apa-apa.
Dalam bukunya yang berjudul Apologia[3], Platon mengatakan bahwa Sokrates tidak pernah menganggap dirinya bijaksana, melainkan orang yang mencintai kebijaksanaan. Dalam orakel Delfi sekitar tahun 420 SM, dewa Apolon memuji kebijaksanaan Sokrates dengan mengatakan bahwa tidak ada manusia yang lebih bijaksana daripada Sokrates.[4]
Dengan melihat dan mempelajari keseluruhan hidup Sokrates, ada banyak hal yang dapat lebih didalami. Tulisan ini secara khusus hendak membahas salah satu keutamaan Sokrates yang diteladankan selama hidupnya, yakni ketaatannya kepada negara. Sebenarnya Sokrates merupakan figur yang cenderung memilih untuk menghindari politik, akan tetapi ia tidak pernah mengabaikan apa yang negara minta daripadanya. Ketaatan itu terwujud nyata dalam kesediaannya untuk membantu negara selama peperangan dan berpuncak pada momen kematiannya.  

Bukan melalui tulisan, tetapi tindakkan nyata
Sebenarnya tidak mudah untuk mempelajari pemikiran maupun ajaran-ajaran Sokrates dari sudut pandang historis karena de facto tidak ada bukti-bukti yang asli hasil dari tulisan Sokrates. Dengan kata lain, Sokrates tidak pernah menulis apapun. Semua tentangnya hanya dapat dipelajari dari kesaksiaan atau tulisan-tulisan Platon sebagai sumber utama dan juga tulisan-tulisan para filsuf lain (Xenophon dan Aristophanes).[5] Ketiadaan bukti-bukti itu sebenarnya menjadi salah satu penghambat dalam mempelajari Sokrates historis.
Dari tulisan-tulisan Platon, dapat diketahui bahwa Sokrates memberikan pengajaran kepada murid-muridnya melalui tindakan nyata yakni dengan menghidupi prinsip hidup mencari kebenaran. Aliran filosofinya tidak pernah dituliskannya dalam buku-buku atau kumpulan-kumpulan tulisan melainkan dilakukannya melalui cara hidupnya. Menurut teman-temannya, Sokrates digambarkan sedemikian adilnya, sehingga tidak pernah berpikir untuk berbuat jahat. Selain itu, ia tidak pernah merugikan kepentingan umum dan oleh karena betapa cerdiknya, ia tidak pernah salah dalam menimbang baik atau buruk dari tindakan-tindakannya.[6]
Sokrates merupakan figur yang kritis dan selalu mempertanyakan apa saja sehingga jawaban akhir dari pertanyaan tersebut tidak dapat ditemukan. Hal ini menjadi salah satu ciri khas Sokrates dalam dialektika, di mana ia selalu berusaha membuktikan ucapan orakel dengan mengolok-olok pedoman hidup warga Athena melalui kritik-kritik dialektika. Sokrates mendorong murid-muridnya untuk bersikap serupa yang membuat para pemuda yang menjadi murid-muridnya sering membantah orang tua mereka. Di samping itu, keutamaan lain yang diteladankan oleh Sokrates yang sangat nampak selama hidupnya ialah ketaatannya pada negara. Dengan cara hidupnya yang mengagumkan tersebut, ia memperoleh banyak teman dan pengikut serta dicintai oleh orang-orang.

Ketaatan Sokrates pada negara
Setiap warga negara kota wajib berpartisipasi untuk membela negaranya. Seringkali, para warga diwajibkan pula untuk ikut bertempur dalam suatu peperangan demi mempertahankan negara dari serangan musuh. Seperti yang dilakukan oleh warga negara lainnya. Sokrates pun ikut bepartisipasi dalam berbagai macam pertempuran yang melibatkan negaranya. Di satu sisi, Sokrates merupakan figur yang taat pada negara, akan tetapi di sisi lain ia juga merupakan orang yang bersikap kritis terhadap negara. Keadaan negara yang semakin mengalami kemunduran dalam hal moralitas mendorongnya untuk memberikan kritik dengan metode dialektika.
Bentuk ketaatan total pada negaranya sangat nampak sekali dalam kesediaannya untuk berperang yang tentu saja berisiko besar bagi dirinya sendiri yakni kehilangan nyawa. Salah seorang tokoh bernama Alkibiades yang diceritakan Platon dalam Symposium[7] menyebutkan bahwa Sokrates berjasa besar dalam peperangan dengan menyelamatkan senjata Alkibiades. Selain itu, ia juga berjasa dalam menyelamatkan nyawa Alkibiades. Dengan kata lain, Sokrates memiliki keunggulan dalam hal berperang, dan keunggulannya itu disumbangkan sepenuhnya demi ketaatan kepada negara.
Pada tahun 431 SM, terjadi perang saudara di Yunani antara orang-orang Athena dan Sparta. Selang dua tahun kemudian, wabah sampar melanda Athena yang mengakibatkan Perikles meninggal. Dalam setiap peperangan itu, Sokrates terlibat secara aktif untuk membantu negaranya. Akan tetapi, pada tahun 404 SM, Athena mampu ditaklukkan oleh Sparta yang membuat kekuasaan diambil alih oleh Tirani 30, sebuah rezim boneka buatan Sparta. Tirani 30 ini dipimpin oleh Kritias yang sebenarnya merupakan sahabat Sokrates. Tirani 30 menghapuskan demokrasi dan membunuh sejumlah warga yang dianggap sebagai musuh politik.
Menurut Xenophon, Sokrates mencoba untuk keluar dari situasi politik yang sedang kacau balau dengan mengatakan kepada teman-temannya bahwa sungguh pahit ketika seorang pemimpin politik yang dipilih justru membuat rakyat semakin menderita dan susah. Oleh karena perkataannya tersebut, munculah konflik antara Sokrates dan Tirani 30 yang selanjutnya melarang Sokrates untuk berbicara di depan umum. Tirani 30 mencoba untuk melibatkan diri dalam kebijakan rezim dengan meminta bantuan Sokrates untuk membunuh warga negara yang telah divonis mati. Menurut Platon, Sokrates menolak permintaan tersebut karena tidak sesuai dengan prinsip hidup yang dipegangnya untuk hidup dalam kebenaran.[8]
Pada akhir tahun 404 SM, perang sipil meletus kembali di Athena dan pada musim semi tahun 403 SM, Kritias tewas dalam pertempuran sipil tersebut. Enam bulan kemudian setelah para tiran berkuasa, sistem demokrasi di Athena kembali dipulihkan dan perdamaian mulai tercipta. Akan tetapi, konflik yang melibatkan Sokrates dan Tirani 30 pada akhirnya mengantar Sokrates pada kematian.
Pada 399 SM, Sokrates dituduh sebagai orang yang bersalah karena tidak percaya pada dewa-dewa di antaranya kota percaya dan dengan memperkenalkan dewa baru lainnya. Ia juga dituduh telah merusak generasi muda. Selanjutnya, berdasarkan dua macam tuduhan tersebut, Sokrates dibawa ke pengadilan. Proses pengadilan dimulai ketika seorang penyair bernama Meletus memanggil Sokrates di hadapan saksi, hakim dan 500 orang juri pengadilan. Di tempat itu, ia harus menjawab tuduhan-tuduhan yang ditujukan padanya. Keputusan hukuman selanjutnya ditentukan setelah mendengarkan pembelaan Sokrates dan tuntutan para penuduh (Meletus, Anytus dan Lycon).[9]
Hasil akhir dari pengadilan tersebut menyatakan bahwa Sokrates bersalah karena menolak untuk mengakui para dewa yang diakui oleh negara dan memperkenalkan dewa baru. Selain itu, ia juga bersalah  karena telah merusak generasi muda dengan ajaran dan pengaruh-pengaruhnya.  Tuduhan-tuduhan tersebut membawanya pada vonis mati. Ia dijatuhi hukuman dengan cara minum racun upas yang membawanya bertemu dengan kebijaksanaan sejati yang ia cari, yakni kematiannya.
Sebenarnya tuduhan yang ditujukan pada Sokrates tidaklah berlandaskan alasan yang jelas. Platon dan Xenophon mengatakan bahwa Sokrates merupakan orang yang saleh dan hormat pada Zeus dan dewa-dewi lainnya yang bertahta di Gunung Olimpus. Hanya saja, Sokrates sering mengkritik tindakan para dewa-dewi yang tidak bermoral, kendati ia tetap percaya akan keilahian dewa-dewi. Sepertinya tuduhan-tuduhan tersebut hanya merupakan sebuah motif politis untuk memunuh Sokrates.[10]



Kematian sebagai puncak ketaatan  
Ketaatan Sokrates dapat dikatakan sebagai sebuah ketaatan buta, dimana ia tidak lagi melihat apakah keputusan negaranya benar atau salah. Meskipun ia menyadari bahwa hukuman yang dilimpahkan kepadanya sangat tidak adil, ia tetap berpegang teguh pada prinsip keutamaan taat pada negara yang juga telah diajarkannya kepada orang-orang. Satu hal yang ia pegang teguh ialah prinsip hidupnya yakni hidup dalam terang. Momen kematiannya dapat dikatakan sebagai sebuah peristiwa puncak ketaatan Sokrates. Sebagai seorang warga negara yang taat, ia tidak memiliki niat sama sekali untuk mengelak dari keputusan negara.
Sebenarnya, Sokrates memiliki kesempatan untuk membela diri dan juga melarikan diri dengan memilih hukuman pengasingan. Jika ia bersedia melarikan diri, tidak sedikit warga negara kota Athena yang mendukungnya. Dalam Phaidon[11], Platon menggambarkan dengan menarik saat-saat terakhir Sokrates dalam percakapannya dengan teman-temannya. Sokrates meminta semua orang untuk tidak bersusah hati karena kematiannya. Ketika tiba saatnya untuk dieksekusi, Sokrates meminta sipir untuk segera mengambilkan gelas yang sudah berisi racun. Jika racun itu belum dibuat, ia minta sipir untuk segera membuatnya.[12] Dengan tenang ia menyambut kematiannya, seolah-olah kematian dianggapnya sebagai tujuan hidup.

Kesimpulan
Sokrates merupakan contoh figur seorang filsuf yang memiliki keutamaan dalam tindakan melalui prinsip-prinsip hidup dan ajaran-ajarannya. Ketaatan pada negara yang membawanya kepada kematian hanyalah salah satu bagian kecil dari keseluruhan keutamaan hidup Sokrates. Ketaatan itu terwujud nyata dalam kesediaannya untuk membantu negara selama peperangan, setia pada prinsip-prinsip hidupnya dan berpuncak pada momen kematiannya.  
Demi menjaga prinsip-prinsip hidupnya yang hendak hidup dalam terang kebenaran mendorongnya untuk melakukan apa saja demi tujuan tersebut. Kematiannya menjadi momen puncak ketaatan Sokrates karena melalui kematian, ia menunjukkan kesejatian hidupnya betapa ia merupakan pribadi yang berkeutamaan dan pantas untuk diteladani.  



Daftar Pustaka
            Bertens, K. Sejarah Filsafat Yunani. Yogyakarta: Kanisius, 1999.

            Hatta, Mohamad. Alam Pikiran Yunani. Jakarta: Tintamas Indonesia, 1980.
           
            Miller, James. The Philosophical Life. Oxford: Oneworld, 2011.

            Wibowo, Setyo (Penerjemah dan Penafsir). Mari Berbincang Bersama Platon.                               Jakarta: PT. Indonesia Publishing, 2011.

            Wibowo, Setyo. Sokrates (Dalam Diktat Kuliah Sejarah Filsafat Yunani). Jakarta:              STF. Driyarkara, 2013.
           
Sumber Lain
            Linder, Doug. “The Trial of Socrates”.  2002.                                                           
                        (diakses tanggal 30 September 2013, pukul 13.30 WIB)




[1] James Miller, The Philosophical Life, Oxford: Oneworld, 2011, hlm. 14-15.
[2] James Miller, The Philosophical Life,  hlm. 16.
[3] Tulisan Platon yang berisi pidato pembelaan Sokrates.
[4] Setyo Wibowo, Sokrates (Dalam Diktat Kuliah Sejarah Filsafat Yunani), Jakarta: STF. Driyarkara, 2013,
  hlm. 6.
[5] K. Bertens, Sejarah Filsafat Yunani, Yogyakarta: Kanisius, 1999, hlm. 95.
[6] Mohamad Hatta,  Alam Pikiran Yunani, Jakarta: Tintamas Indonesia, 1980, hlm. 73.

[7] Tulisan Platon yang berisi konsep-konsep cinta Platonis.
[8] James Miller, The Philosophical Life,  Oxford: Oneworld, 2011, hlm. 26.
[9] Doug Linder, “The Trial of Socrates”, 2002,               http://law2.umkc.edu/faculty/projects/ftrials/socrates/socratesaccount.html.
[10] Setyo Wibowo, Mari Berbincang Bersama Platon, Jakarta: PT. Indonesia Publishing, 2011,  hlm. 15.
[11] Tulisan Platon yang berisi dialog menjelang kematian Sokrates.
[12] Mohamad Hatta, Alam Pikiran Yunani, hlm. 73.

Commentaires

Posts les plus consultés de ce blog

Semar vs Batara Guru

Objektivitas, Nilai-nilai dan Sains sebagai Pengetahuan Sosial

Kepribadian Indonesia Modern (Review)