Aliran Sofistik dalam Penegakan Hukum di Indonesia

ALIRAN SOFISTIK
DALAM PENEGAKAN HUKUM DI INDONESIA


Abstrak: Penegakan hukum di Indonesia mulai menunjukkan gejala aliran sofistik. Gejala munculnya aliran sofistik tersebut terlihat dengan diabaikannya nilai-nilai moral seperti kebenaran dan keadilan karena kalah dengan kuasa uang. Berdasarkan latar belakang tersebut, makalah ini bertujuan untuk menunjukkan gejala-gejala munculnya aliran sofistik dalam penegakan hukum di Indonesia. Selain itu, tulisan ini juga menunjukkan usaha yang diperlukan untuk melawan aliran tersebut. Bahan penelitian yang dipakai ialah dua kasus kriminal di Indonesia dengan metode studi pustaka dan analisis kasus. Kesimpulan dari tulisan ini ialah pentingnya menyadari munculnya aliran sofistik dan mengusahakan cara-cara untuk melawan aliran sofistik sehingga tidak terus tumbuh dalam penegakan hukum di Indonesia.

Kata Kunci: sofis, sofistik, advokat, moral, keadilan, kebenaran, hukum, pengadilan, korupsi, suap, uang.


1.             Pendahuluan
          Penegakan hukum di Indonesia dari tahun ke tahun semakin mengalami kemunduran terutama dalam hal proses pengadilan, beberapa terdakwa kasus kejahatan yang semakin tidak jelas sisi keadilannya.[1] Apakah yang diperjuangkan itu adalah murni sebuah nilai moral atau ada faktor lain yang mempengaruhi kemunduran tersebut? Penyebab dari itu semua ialah politik uang yang membuat para pengadil seolah-olah menjual jasa hukum mereka yang mampu membayar. Dengan demikian, para pengadil dan segala anteknya bersedia membela siapa pun yang mampu menggelontorkan rupiah.  
          Keadaan semacam ini mirip dengan apa yang terjadi pada zaman Yunani Kuno, yakni pada zaman Sokrates dengan kemunculan aliran sofistik yang dibawa oleh para kaum sofis. Mereka adalah orang-orang yang menjual jasa untuk membela yang tidak benar sehingga bebas dari hukuman. Aliran ini merupakan sebuah paham yang tidak memperhitungkan nilai-nilai moral seperti kebenaran dan keadilan. Selain itu, aliran ini juga lebih menekankan cara membela diri yang dapat membebaskan diri dari hukuman. Hal ini sering dilakukan dengan cara membayar pihak pengadilan melalui peran advokat yang dapat berargumentasi secara baik dengan kecerdasan berpikir rasionalnya.
          Bagi para penganut aliran sofistik, nilai moral dan hukum dianggap sebagai sebuah konvensi belaka, sedangkan mendapatkan uang adalah prioritas utama. Nilai moral dan hukum tersebut hanya muncul dengan adanya komunitas politis manusia. Begitulah pendapat Protagoras, salah satu penganut aliran sofistik pada zaman Yunani Kuno.[2] Pemahaman tersebut menjadi sangat berbahaya jika diterapkan ke dalam penegakan hukum karena dapat mematikan moralitas yang mengarah pada kebenaran dan keadilan. Oleh sebab itu, dalam sejarah, aliran ini ditentang habis-habisan oleh Sokrates dan Platon yang ingin mempertahankan adanya realitas moral yang obyektif.[3]
          Penegakan hukum di Indonesia sepertinya mulai menunjukkan gejala aliran sofistik. Kebenaran dan keadilan bukan menjadi alasan kuat, melainkan keahlian dalam berargumentasi yang dapat membebaskan orang-orang dari hukuman. Penegakan hukum secara perlahan mulai menjauhi nilai-nilai dan spirit yang terkandung dalam konstitusi, sebagaimana tercermin dalam Pancasila dan UUD 1945.[4]
          Fenomena tersebut di atas cukup meresahkan sebagian besar warga negara yang menganggap adanya ketidakadilan dalam penegakan hukum. Hukum semestinya diterapkan untuk melindungi semua warga negara. Seandainya nilai-nilai moral seperti kebenaran dan keadilan sudah diabaikan, warga negara sendiri yang menjadi korban ketidakadilan. Tulisan ini dimulai dengan menjelaskan aliran sofistik dalam sejarah Yunani Kuno, hubungan antara aliran sofistik dan penegakan hukum di Indonesia, dan cara-cara mencegah aliran sofistik dalam penegakan hukum di Indonesia.  

2.                 Aliran Sofistik
     2.1   Sejarah Aliran Sofistik
            Istilah sofistik berasal dari kata sophos dalam bahasa Yunani Klasik yang merujuk pada orang yang memiliki kemampuan baik secara alamiah atau akibat pembelajaran, orang yang terampil seperti sais kereta kuda, pematung dan juru mudi kapal. Istilah ini secara umum merujuk pada orang yang berakal sehat pula. Orang-orang penganut aliran sofistik disebut sebagai kaum sofis.[5]
            Bagi kaum sofis, kebenaran itu tidak ada dan yang ada hanyalah opini tentang kebenaran. Oleh sebab itu, mereka sama sekali tidak berpikir soal kebenaran dan hal yang lebih dipentingkan ialah berbagai cara untuk memenangkan suatu perkara. Pada abad ke-5 SM, orang-orang Athena sering menjuluki kaum sofis sebagai orang yang mengerikan, mengagumkan dan layak ditakuti oleh karena kepandaian dan kecerdikan mereka.[6]
            Kaum sofis berbeda dari para filsuf pada umumnya karena mereka meminta bayaran untuk ilmu dan jasa-jasa yang mereka berikan. Selain itu, mereka senantiasa mengajarkan seni persuasi, seni berargumentasi dan seni meyakinkan kepada para pendengarnya. Seni-seni semacam itu memiliki pengaruh yang besar bagi berlangsungnya proses hidup di Yunani.[7]
            Athena merupakan sebuah rezim demokrasi. Warga negaranya sering berkumpul dan melakukan rapat bersama untuk membuat Undang-Undang atau mengambil keputusan penting berkaitan dengan negara. Selain itu, mereka juga sering berdebat di tribunal atau semacam pengadilan. Tentu saja mereka juga sering melakukan pemungutan suara sebelum mengambil keputusan. Sebelum diadakan pemungutan suara, biasanya mereka saling berdebat untuk meyakinkan orang lain supaya mendukung pendapat-pendapat tertentu. Di sinilah kaum sofis berperan dengan mengajarkan bagaimana cara meyakinkan orang lain dengan argumentasi yang baik.[8]

     2.2   Faktor-Faktor Munculnya Aliran Sofistik
            Dilihat secara umum, ada tiga faktor yang menyebabkan kemunculan aliran sofistik. Pertama, sesudah Perang Parsi selesai (tahun 449 SM), Athena berkembang pesat dalam bidang politik dan ekonomi. Dengan adanya kemajuan dalam bidang politik dan ekonomi, Athena secara otomatis menjadi pusat dalam bidang intelektual dan kultural. Kedua, kebutuhan akan pendidikan dirasakan di seluruh daerah di Yunani pada waktu itu. Orang-orang muda merasakan perlunya mendapat pendidikan serta pembinaan yang baik supaya nantinya dapat terlibat dalam bidang politik atau ekonomi. Ketiga, munculnya aliran sofistik juga tidak dapat dipisahkan dari pergaulan orang-orang Yunani dengan orang-orang asing yang berlainan kebudayaan. Dengan demikian, mereka perlu menjaga nama baik identitas kebudayaan sendiri di antara banyak jenis kebudayaan lain. Faktor-faktor itulah yang memunculkan aliran sofistik dengan dua orang tokoh yang terkenal yakni Protagoras dan Gorgias. [9]

     2.3   Pengaruh Aliran Sofistik
            Munculnya aliran sofistik di Yunani memberikan dampak negatif atas kebudayaan Yunani waktu itu, yakni nilai-nilai tradisional dalam bidang agama dan moralitas mulai roboh. Pengaruh yang lainnya ialah kemahiran ilmu berargumentasi menyebabkan adanya kemungkinan peluang bagi orang-orang yang ingin mempergunakan kemahiran tersebut untuk maksud-maksud jahat, yakni dengan menginginkan bayaran yang tinggi. Selain pengaruh-pengaruh negatif seperti di atas, aliran sofistik juga memiliki pengaruh positif bagi kebudayaan Yunani, yakni sebuah revolusi intelektual.
            Tokoh-tokoh seperti Gorgias dan sofis-sofis lain menciptakan gaya bahasa baru untuk prosa-prosa Yunani. Selain itu, aliran ini juga memandang bahwa manusia dijadikan obyek filsafat sehingga setelah itu, munculah para filsuf besar yang sebagaian besar pemikirannya dipengaruhi aliran sofistik seperti Sokrates, Platon dan Aristoteles. [10] Akan tetapi, para filsuf besar tersebut melawan dengan keras aliran tersebut karena konsepsi moral hanya dianggap sebagai konsensus dan konvensi belaka.[11]

3.                 Persoalan Penegakan Hukum di Indonesia
            Negara Indonesia mengalami masalah mendasar yang saat ini dihadapi, yakni praktik penegakan hukum yang dijauhkan dari nilai-nilai dan spirit yang terkandung dalam konstitusi, sebagaimana tercermin dalam Pancasila dan UUD 1945. Konstitusi tidak dijadikan sebagai landasan dan barometer untuk menilai sejauhmana kepercayaan politik yang diberikan oleh rakyat kepada pemerintah dijalankan dengan baik dan benar. Para pembesar negeri ini seharusnya mempunyai keberanian, kejujuran dan ketulusan untuk memimpin republik berdasarkan pada konstitusi dan bukan pada kepentingan golongan, apalagi kemapanan pribadi.[12] Berikut ini, akan diberikan dua contoh kasus yang menunjukkan persoalan penegakan hukum di Indonesia.

     3.1  Kasus Nenek Minah[13]
            Kasus Nenek Minah merupakan salah satu contoh peristiwa yang memprihatinkan dalam kaitannya dengan penegakan hukum. Perbuatan Nenek Minah mencuri tiga buah kakao milik perusahaan PT Rumpun Asri Antan (RSA), Banyumas, membawanya ke tahanan selama satu bulan, lima belas hari penjara dengan masa percobaan tiga bulan. Ini terjadi karena ia tidak memiliki uang yang dapat digunakan untuk membayar seorang advokat di pengadilan. Dalam keadaan tersebut, Nenek Minah tidak memiliki pilihan lain selain pasrah pada hukum yang akan segera menjeratnya.
            Sesuai dengan peraturan hukum, seorang terdakwa yang sedang menjalani proses pengadilan berhak mendapatkan pembelaan dari seorang advokat atau pengacara. Dalam kasus Nenek Minah, memang ia ditawari untuk mendapatkan pembelaan dari seorang penasihat hukum. Akan tetapi, sepertinya pembelaan tersebut tidak berarti apa-apa jika dibandingkan dengan hukuman yang dituntut oleh jaksa penuntut dan akhirnya divoniskan kepadanya. Hukuman satu bulan, lima belas hari penjara dengan masa percobaan tiga bulan jelas tidak sesuai dengan besarnya kesalahan yang telah diperbuatnya.
            Kasus ini cukup menjadi sorotan publik terutama dipertanyakannya prinsip keadilan para penegak hukum negara. Jika melihat akar dari vonis yang tidak adil ini, dapat disimpulkan bahwa penyebab utamanya ialah Nenek Minah tidak mempunyai uang yang cukup untuk membayar seorang advokat yang mampu membebaskan atau paling tidak meringankannya dari beban hukuman.





     3.2  Kasus Korupsi Gayus Tambunan[14]
            Seperti kanker dalam kehidupan republik, persoalan korupsi adalah penyakit sentral yang turut menentukan apakah negara ini telah gagal menjalankan fungsinya (failed state) atau tidak. Lima abad yang lalu, pujangga politik terbesar di Italia Nocollo Machiavelli (1512-1517) dalam karyanya Discorsi sopra la prima deca di Tito Livia,[15] memaparkan bahwa menjalarnya kasus korupsi dalam kehidupan republik adalah malapetaka besar. Hilangnya daya hidup dan dinamika kehidupan bernegara bermula dari tumbuhnya perilaku korupsi yang menjalar dan tak dapat dihentikan baik oleh warga maupun elite politik di negeri tersebut.[16]
            Salah satu contoh kasus korupsi di Indonesia ialah kasus Gayus Halomoan P. Tambunan. Sebagai pegawai pajak, ia melakukan korupsi saat menangani keberatan pajak PT Surya Alam Tunggal. Gayus menggunakan peradilan pajak sebagai salah satu modus dalam kerja mafianya.[17] Vonis hukuman yang dikenakan pada Gayus adalah 30 tahun penjara ditambah denda mencapai satu miliar rupiah.
            Ukuran berat hukuman seorang koruptor dengan pencuri kakao tentu berbeda. Lebih dari sepuluh tahun penjara dan denda ratusan juta rupiah rasanya masih terlalu ringan untuk kejahatan korupsi. Para koruptor bukan hanya merugikan negara secara materiil, melainkan juga membangun budaya buruk korupsi bagi generasi muda. Berbeda tingkat sosial seseorang, berbeda pula perlakuannya dalam penegakan hukum. Penjahat besar semacam Gayus tetap semestinya dihukum mati. Ini merupakan contoh sebaliknya, yaitu justru orang-orang yang sebenarnya pantas dihukum berat malah mendapat keringanan karena memiliki uang untuk membela diri.
            Keringanan tersebut tidak didapatkan Gayus secara cuma-cuma. Tentu saja, ia berani membayar mahal seorang advokat[18] yang dapat membela dan meringankan hukumannya di pengadilan. Bahkan menurut berita di Kompas, Gayus memilih untuk mengganti pengacaranya Adnan Buyung Nasution yang dinilai tidak memiliki spirit yang sama dengan Hotma Sitompul.[19] Sekali lagi ini adalah persoalan uang, yakni ketika seseorang memiliki harta berlimpah, hukum pun dapat dibeli.
            Mulai dari uang, permasalahan selanjutnya ialah keahlian berargumentasi yang bertentangan dengan nilai-nilai moral dalam rangka pembelaan diri. Keahlian berargumentasi merupakan syarat utama seseorang dapat membebaskan diri dari hukuman. Faktor kelihaian berargumentasi dalam konteks penegakan hukum di Indonesia dapat dilihat dari peran para advokat yang berusaha membela mati-matian klien mereka dari hukuman yang berat.
            Sebenarnya tugas para advokat merupakan tugas yang mulia. Mereka bersedia memberi nasihat dan bantuan hukum kepada orang-orang yang memerlukannya tanpa membedakan agama, kepercayaan, suku, keturunan, kedudukan sosial atau keyakinan politiknya. Ia bekerja tidak semata-mata mencari imbalan materiil, melainkan menegakkan hukum, keadilan dan kebenaran dengan cara yang jujur dan bertanggung jawab.[20]
            Persoalannya menjadi dilematis ketika seorang advokat diminta untuk membela sebuah kasus kejahatan seperti korupsi. Dalam kode etik advokat Indonesia, seorang advokat dapat menolak permintaan klien untuk membela ketika berlainan dengan hati nurani. Sebagai manusia yang beradab, semestinya hati nuraninya menginginkan untuk membela kebenaran.[21] Dengan demikian, nilai-nilai moral tidak dipisahkan dari keahlian berargumentasi. Akan tetapi, dalam beberapa kasus, para advokat justru bersedia mati-matian membela kejahatan karena dapat mendatangkan uang yang besar. Sebaliknya, jika tidak ada uang yang bisa didapatkan, kemungkinan besar permintaan klien akan dipandang sebelah mata. Jika seorang advokat dipaksa memilih antara membela Nenek Minah atau Gayus, mereka akan cenderung membela Gayus.                       
            Profesi sebagai seorang advokat memang dilematis dan tidak mudah untuk dijalani. Dalam diri mereka selalu ada pertentangan antara suara hati yang mendorong ke arah kebaikan dengan kasus kejahatan yang harus dibela. Profesionalitas mereka tentu saja tidak dapat netral dan diterima oleh semua pihak. Dengan kata lain, selalu ada pihak yang merasa dirugikan.[22]
            Di situlah letak persoalan utamanya, yakni pertentangan dengan nilai-nilai moral.[23] Hal itu berarti seorang advokat sudah tidak lagi mementingkan mana yang benar dan mana yang salah. Semuanya semata-mata demi mendapatkan penghasilan yang banyak. Persoalan semacam ini menandakan bahwa penegakan hukum yang semestinya memperjuangkan keadilan mulai disusupi oleh aliran sofistik. Dengan kata lain, keahlian berargumentasi yang dimiliki oleh para advokat dipergunakan secara berlawanan dengan nilai-nilai moral yang menjunjung tinggi kebenaran dan keadilan. Dengan memanfaatkan keahlian di bidangnya, para advokat mampu dengan mudah membebaskan orang-orang yang semestinya dihukum berat.  

4.                 Aliran Sofistik dalam Penegakan Hukum di Indonesia
            Sebagaimana kaum sofis pada zaman Yunani Kuno menjual jasa mereka untuk para klien dan menuntut bayaran dengan ganti pembelaan hukum secara argumentatif di pengadilan, demikian pula terjadi di Indonesia pada masa kini. Dua contoh kasus di atas kiranya cukup memperlihatkan betapa penegakan hukum di Indonesia belum dapat lepas dari apa yang kita sebut sebagai the power of money dan keahlian berargumentasi. Hal itu mengakibatkan berbagai macam krisis moral karena aliran sofistik tidak pernah memperhatikan siapa yang benar dan siapa yang salah.
            Dari contoh kasus Nenek Minah, pada akhirnya tidak ada yang dapat membantu meringankan hukuman atau membela secara signifikan di pengadilan. Tuntutan jaksa penuntut pun pada akhirnya tidak dapat ditolak oleh hakim pengadilan. Sesuai prosedur hukum, proses pengadilan tersebut berjalan benar dan baik. Akan tetapi, satu hal yang mengganjal dan menjadi akar persoalan penegakan hukum di Indonesia ialah matinya nilai-nilai moral penegakan hukum karena kuasa uang. Hal ini seakan-akan menjadi persoalan klasik sejak zaman Sokrates, yakni uang mengalahkan nilai-nilai moral.                       
            Dalam kasus Gayus Tambunan, kuasa uang mampu meringankan hukuman yang semestinya dibebankan secara lebih berat lagi kepadanya. Uang itu mampu membuat pengacara mati-matian membela kejahatan Gayus. Peran advokat kurang lebih sama dengan kaum Sofis yang pandai berbicara dan berargumentasi. Apa yang sebenarnya salah dapat seolah-olah menjadi benar. Dengan demikian, antara kebenaran dan kesalahan sudah mulai terbolak-balik. Sekali lagi ini menunjukkan kematian nilai-nilaimoral dalam penegakan hukum yang sudah memalingkan muka dengan apa yang dinamakan kebenaran dan keadilan. Seandainya kondisi penegakan hukum terus menerus seperti ini, tidak dapat dihindari lagi bahwa Indonesia akan mengalami krisis moralitas.

5.                 Melawan Aliran Sofistik dalam Penegakan Hukum di Indonesia
            Aliran sofistik dalam penegakan hukum di Indonesia barangkali tidak pernah disadari oleh setiap orang. Sebagian warga negara hanya dapat mengeluhkan ketidakadilan yang sering terjadi dalam proses hukum. Dengan demikian, aliran ini menjadi semacam mafia yang secara perlahan dapat menggerogoti moral bangsa. Oleh sebab itu, sejak dini persoalan ini harus segera diantisipasi.
            Dalam hal penegakan hukum, sistematikanya harus dibagi dalam dua hal. Pertama, bagaimana rasa hukum dan konstitusionalisme bekerja dalam diri sebagai bagian integral dari proses kolektif bangsa. Kedua, secara bersamaan bagian dari upaya penegakan hukum akibat dirusak atau dilanggarnya proses hukum oleh pihak tertentu. Jika pada model yang pertama lebih menekankan konsep hukum sebagai rambu dan koridor berbangsa dan bernegara, model kedua lebih menekankan kemampuan alat penegakan ketika berbagai rambu tersebut dilanggar.[24]
            Berdasarkan pertimbangan dua hal di atas, intervensi pemerintah sangat diperlukan dalam hal penegakan hukum dengan cara memberikan peraturan-peraturan tertentu yang diharapkan mampu mencegah ketidakadilan. Beberapa cara atau kebijakan dari pemerintah berikut merupakan cara-cara melawan aliran sofistik dalam penegakan hukum di Indonesia:
            Pertama, pihak pemerintah yang diwakili oleh lembaga yudikatif menetapkan advokat dan juga jaksa penuntut bagi setiap terdakwa. Pengaruh aliran sofistik sudah sampai dapat menentukan kuasa seorang advokat baik untuk membela kebenaran atau malah sebaliknya yakni membela kejahatan. Seandainya dalam beberapa kasus yang serupa dengan kasus Nenek Minah mendapat pembelaan yang obyektif, lepas dari faktor komersial, tentunya akan dapat membuat penegakan hukum berjalan dengan baik dan adil. Oleh sebab itu, sebaiknya pemerintah menentukan advokat bagi setiap terdakwa sehingga dapat mengurangi kecenderungan subyektif pembelaan terhadap yang dapat membayar.
            Kedua, memberikan efek jera bagi siapa pun yang memanfaatkan uang demi mendapat pembelaan yang besar. Cara kedua ini sama artinya dengan pencegahan praktik suap. Hal ini mengandaikan pengawasan yang ketat dari pihak lembaga yudikatif dalam penegakan hukum di pengadilan. Barangsiapa menggunakan praktik suap, hukuman yang dilimpahkan kepada mereka semestinya semakin diperberat. Cara ini sekiranya dapat sedikit mengurangi pelanggaran suap dalam penegakan.
            Kedua cara tersebut di atas sekiranya dapat dijadikan solusi untuk melawan aliran sofistik dalam penegakan hukum di Indonesia yang persoalan utamanya tetap terletak pada nilai-nilai moral. Jika kembali dikaitkan dengan aliran sofistik pada zaman Yunani Kuno, kedua cara tersebut sebenarnya sepaham dengan apa yang menjadi kritik Platon terhadap aliran sofistik.
            Salah satu kritik Platon terhadap aliran sofistik ialah selama norma moral dan hukum ditundukkan oleh kepentingan, maka tidak ada hal lain yang dapat menjadi justifikasi baginya kecuali pemenuhan kepentingan tersebut. Platon berpendapat bahwa setiap manusia memiliki alasan yang rasional untuk bermoral, dan bahwa hidup yang bermoral dapat dijustifikasikan secara rasional terlepas dari norma moral apa pun yang melingkupi hidupnya.[25]
            Di luar itu semua, seringkali orang yang tidak adil justru kelihatan bahagia karena mereka pandai membuat gambaran diri seolah-olah mereka itu adil. Sementara itu, orang yang adil justru seringkali sengsara dan biasanya kesulitan membangun gambaran diri bahwa ia baik dan adil. (Bdk. Politeia II 366b)[26]. Hal itu menimbulkan pertanyaan mendasar sekaligus menggelisahkan, “Apa alasannya manusia memilih keadilan daripada ketidakadilan karena ketidakadilan ternyata bisa disembunyikan di balik gambaran diri sehingga orang tetap bisa diterima oleh Tuhan dan sesamanya?” (Bdk. Politeia II 366b).[27] Dalam konteks penegakan hukum di Indonesia, kritik Platon tersebut kurang lebih dapat diterapkan secara nyata melalui dua cara mengatasi munculnya aliran sofistik.

6.                 Penutup
            Penegakan hukum di Indonesia masih mengalami persoalan terutama dalam hal mementingkan keadilan kepada seluruh masyarakat. Dengan kata lain, penegakan hukum tersebut masih berpihak pada kepentingan-kepentingan tertentu yang memiliki kuasa dalam bentuk uang untuk membayar jasa pembelaan hukum. Hal itu menunjukkan munculnya aliran sofistik baru dalam penegakan hukum di Indonesia. Seluruh masyarakat terutama rakyat kecil tentu saja merasa resah dengan gejala tersebut.
            Munculnya aliran sofistik dalam penegakan hukum di Indonesia merupakan sebuah bahaya laten yang dapat menggerogoti nilai-nilai moral bangsa. Oleh sebab itu, persoalan ini harus segera diatasi. Penentuan advokat dalam setiap pengadilan dan pemberian hukuman terhadap segala jenis praktik suap merupakan dua cara yang dapat diterapkan untuk mengantisipasi aliran sofistik. Kedua cara tersebut sesuai dengan kritik Platon terhadap aliran sofistik pada zaman Yunani Kuno.

Daftar Pustaka
Airlangga Pribadi. “Pemerintahan Yang Tersandera.” Dalam Memimpin Republik dengan Konstitusi, diedit oleh Zuhairi Misrawi, hlm. 9-39. Jakarta: Megawati Institute, 2010. 

Arifin Mochtar, Zainal. “Setahun Berlari di Treadmill.” Dalam Memimpin Republik dengan Konstitusi, diedit oleh Zuhairi Misrawi, hlm. 57-86. Jakarta: Megawati Institute, 2010.  

 Bertens, K. Sejarah Filsafat Yunani. Yogyakarta: Kanisius, 1999.

             Kansil,  C.S.T. dan Kansil, Christine. Pokok-Pokok Etika Profesi Hukum. Jakarta: PT Pradnya Paramita, 2003.
  
             Setyo Wibowo. “Etika Platon dan Aristoteles.” (Paper dipresentasikan tanggal 11 November 2013 di STF Driyarkara Jakarta dalam kuliah Sejarah Filsafat Yunani).

             --------. “Sofisme.” (Paper dipresentasikan tanggal 30 September 2013 di STF Driyarkara Jakarta dalam kuliah Sejarah Filsafat Yunani).

Simon, William H. The Practice of Justice. London: Harvard University Press. 2000.

Soekarnoputri, Megawati. “Kata Pengantar.” Dalam Memimpin Republik dengan Konstitusi, diedit oleh Zuhairi Misrawi, hlm. ix-xii. Jakarta: Megawati Institute, 2010.
         

Sumber-Sumber Lain
Dwi Wedhaswary, Inggried. 2011. “Mengapa Gayus Ganti Pengacara.” <http://nasional.kompas.com/read/2011/02/02/18312841> (Diunduh pada tanggal 20 November 2013 pukul 10.00 WIB)

Wibowo, Ary. 2012. “Kejamnya Keadilan ‘Sandal Jepit’… .” <      http://nasional.kompas.com/read/2012/01/06/09445281/Kejamnya.Keadilan.Sandal.Jepit.> (Diunduh pada tanggal 20 November 2013 pukul 12.00 WIB)

Robekka Aritonang, Deytri. 2013. “Berapa Lama Gayus Tambunan Harus Mendekam di Penjara?” <http://nasional.kompas.com/read/2013/08/07/1151174/Berapa.Lama.Gayus.Tambunan.Harus.Mendekam.di.Penjara.> (Diunduh pada tanggal 20 November 2013 pukul 12.15 WIB)



[1] Megawati Soekarnoputri, “Kata Pengantar,” dalam Memimpin Republik dengan Konstitusi, diedit oleh Zuhairi Misrawi (Jakarta: Megawati Institute, 2010), hlm. xi.
[2] Setyo Wibowo, “Etika Platon dan Aristoteles,” (paper dipresentasikan tanggal 11 November 2013 di STF Driyarkara Jakarta dalam kuliah Sejarah Filsafat Yunani), hlm. 1.
[3] Setyo Wibowo, “Etika Platon dan Aristoteles,” hlm. 2.
[4] Megawati Soekarnoputri, “Kata Pengantar,” hlm. xi.
[5] Setyo Wibowo, “Sofisme,” (paper dipresentasikan tanggal 30 September 2013 di STF Driyarkara Jakarta dalam kuliah Sejarah Filsafat Yunani), hlm. 1.
[6] Setyo Wibowo, “Sofisme,” hlm. 3.
[7] Setyo Wibowo, “Sofisme,” hlm. 2.
[8] Setyo Wibowo, “Sofisme,” hlm. 2.
[9] K. Bertens, Sejarah Filsafat Yunani (Yogyakarta: Kanisius, 1999), hlm. 84-86.
[10] K. Bertens, Sejarah Filsafat Yunani, hlm. 92-93.
[11] Setyo Wibowo, “Etika Platon dan Aristoteles,” hlm. 2.
[12] Megawati Soekarnoputri, “Kata Pengantar,” hlm. xi.
[13] Ary Wibowo, 2012, “Kejamnya Keadilan ‘Sandal Jepit’…,” <                 http://nasional.kompas.com/read/2012/01/06/09445281/Kejamnya.Keadilan.Sandal.Jepit.>
[14] Deytri Robekka Aritonang, 2013,  “Berapa Lama Gayus Tambunan Harus Mendekam di Penjara? <http://nasional.kompas.com/read/2013/08/07/1151174/Berapa.Lama.Gayus.Tambunan.Harus.Mendekam.di.Penjara.>
[15] Italia: Pidato deade pertama Titus Livia
[16] Airlangga Pribadi, “Pemerintahan Yang Tersandera,” dalam Memimpin Republik dengan Konstitusi, diedit oleh Zuhairi Misrawi (Jakarta: Megawati Institute, 2010),  hlm. 32.
[17] Zainal Arifin Mochtar, “Setahun Berlari di Treadmill,” dalam Memimpin Republik dengan Konstitusi, diedit oleh Zuhairi Misrawi (Jakarta: Megawati Institute, 2010), hlm. 62.
[18] C.S.T. Kansil dan Christine Kansil, Pokok-Pokok Etika Profesi Hukum (Jakarta: PT Pradnya Paramita, 2003), hlm. 62. “Pengacara dan advokat merupakan dua istilah yang memiliki arti serupa, yakni orang-orang yang bekerja dalam lapangan bantuan hukum. Perbedaannya terletak pada konpetensinya. Wilayah bantuan hukum seorang pengacara hanya di tingkat pengadilan negeri saja, sedangkan wilayah bantuan hukum seorang advokat ialah di seluruh wilayah Indonesia.”  
[19] Inggried Dwi Wedhaswary, 2011, “Mengapa Gayus Ganti Pengacara,” <http://nasional.kompas.com/read/2011/02/02/18312841>
[20] Kode Etik Advokat Indonesia 1. Kepribadian Advokat. A.2. Lih. C.S.T. Kansil dan Christine Kansil, Pokok-Pokok Etika Profesi Hukum, hlm. 72.
[21] Kode Etik Advokat Indonesia 2. Hubungan dengan Klien B.11. Lih. C.S.T. Kansil dan Christine Kansil, Pokok-Pokok Etika Profesi Hukum, hlm. 73.
[22] William H. Simon, The Practice of Justice (London: Harvard University Press, 2000), hlm. 1-2. “No social role encourages such ambitious moral aspirations as lawyer’s, and no social role so consistently disappoints the aspirations it encourages. Practice has become more bureaucratic in some ways, more commercial in others. The core of the explanation is this: the dominant conception of lawyer’s professional responsibilities weakens the connection between the practical tasks of lawyering and the values of justice that lawyers believe provide the moral foundation of their role.”
[23] William H. Simon, The Practice of Justice, hlm. 2. “At best the situation demands of the lawyer an exacting moral asceticsm. Her immediate experience implicates her in violations of the values to which she is most fundamentally commited; the redeeming beneficial effects occur somewhere outside of her working life, perhaps invisibly.”
[24] Zainal Arifin Mochtar, “Setahun Berlari di Treadmill,” hlm. 58.
[25] Setyo Wibowo, “Etika Platon dan Aristoteles,” hlm. 2.
[26] Politeia adalah tulisan asli Platon yang terdiri dari sepuluh bab yang banyak berbicara tentang keadilan dalam bahasa Yunani. Tulisan ini dikutip oleh Setyo Wibowo, “Etika Platon dan Aristoteles,” hlm. 3.
[27] Setyo Wibowo, “Etika Platon dan Aristoteles,” hlm. 3.

Commentaires

Posts les plus consultés de ce blog

Semar vs Batara Guru

Objektivitas, Nilai-nilai dan Sains sebagai Pengetahuan Sosial

Kepribadian Indonesia Modern (Review)