Objektivitas, Nilai-nilai dan Sains sebagai Pengetahuan Sosial
Objektivitas, Nilai-nilai dan Sains sebagai
Pengetahuan Sosial
A. Pengantar
Helen Longino
mencoba menawarkan bentuk empirisme kontekstual di mana bukti penalaran
tergantung pada konteks (context
dependent). Dalam pengertian tersebut, data hanya dapat dianggap sebagai
bukti jika mempunyai hubungan dengan latar belakang asumsi-asumsi. Ia menegaskan
bahwa perkembangan pengetahuan lebih merupakan aktivitas sosial yang bersifat
interaktif dan bukan individual.[1]
Bagi Longino, produksi pengetahuan memang harus didasarkan pada bukti-bukti
empiris. Akan tetapi, yang menjadi masalah selanjutnya adalah bagaimana menentukan
bukti-bukti empiris itu. Kemudian juga bagaimana pilihan tersebut dianggap
sebagai bukti serta bagaimana menentukan pentingnya bukti itu. Padahal, pilihan
yang dibuat selalu didasarkan pada latar belakang asumsi-asumsi yang dibentuk
oleh peneliti, karena produksi pengetahuan dilakukan secara sosial dengan
menerima nilai-nilai tertentu, ideologi, pendidikan dan sebagainya.[2]
Longino melihat bahwa komunitas yang ada merupakan komunitas penelitian bersama.
Artinya pengetahuan yang dihasilkan merupakan pengetahuan kolaboratif. Oleh
sebab itu, objektivitas baginya merupakan usaha komunikasi bersama dan
pencapaian komunal.[3]
Implikasi dari pemikiran Longino selanjutnya akan mematahkan anggapan bahwa
sains itu bebas nilai.
Dalam usaha menggambarkan pemikiran Longino
di atas, makalah ini akan memaparkan pokok-pokok pemikiran Longino bahwa selain
nilai-nilai konstitutif dalam sains, nilai-nilai sosial juga turut
mempengaruhi. Oleh sebab itu, sistematika penulisan makalah ini adalah sebagai
berikut: (1) pembahasan mengenai objektivitas dan bagaimana nilai-nilai
sosial-kultural juga membentuk objektivitas itu sendiri; (2) pembahasan yang
menjelaskan bahwa sains itu tidak dapat lepas dari berbagai bias-bias
kepentingan atau nilai sosial-kulturalnya; (3) setelah menjelaskan pemikiran
Longino, kami akan memberikan evaluasi serta tanggapan kritis; (4) dan pada
bagian terakhir kami akan menutup makalah ini dengan kesimpulan.
B. Nilai,
Objektivitas dan Pengetahuan Sosial
Para positivis
menganggap sikap ilmiah adalah sikap yang bebas nilai. Sebaliknya, Helen
Longino menunjukkan praktik ilmu tidak pernah bebas nilai. Bahkan menurut
Longino, pada level context justification
nilai itu masih tetap mempengaruhi discernment
dan pengambilan keputusan pada komunitas ilmiah. Objektivitas itu tidak hanya
dipengaruhi oleh nilai-nilai konstitutif pengetahuan, tetapi juga nilai-nilai
kontekstual yang hadir bersamanya.
1.
Masalah
Relevansi Bukti dan Objektivitas
Objektivitas adalah kehendak untuk membiarkan
kepercayaan atau keyakinan kita ditentukan oleh fakta-fakta yang ada atau oleh
kriteria yang imparsial seperti kriteria adil, jujur, tidak memihak dan tidak
sewenang-wenang (non-arbitrary).[4] Sains
memberikan gambaran bagaimana melihat dunia secara objektif dalam arti: (1) objektivitas
sains itu terjadi ketika sains mampu menyediakan deskripsi yang akurat mengenai
fakta realitas sebagaimana adanya; (2) objektif berarti mengikuti metode
penelitian untuk menguji hipotesis, untuk kemudian menolak atau menerimanya.
Dalam proses ini, sains berusaha membersihkan dirinya dari unsur-unsur
subjektif yang menyertainya.
Meskipun ada dua
pengertian objektivitas, orang tetap memahaminya dalam arti pertama sejauh
sains itu telah dianggap objektif dalam pengertian yang kedua.[5] Oleh
sebab itu, bagi para positivis/empiris, data menjadi unsur penting dalam sebuah
observasi atau penelitian untuk mencapai objektivitas, di mana pengetahuan
sungguh bebas nilai (bebas dari kepentingan).[6] Akan
tetapi, Longino melihat bahwa selalu ada masalah dalam empirisme, yaitu
bagaimana sebuah observasi atau data menyediakan bukti bagi sebuah teori.
Bukankah data yang diambil atau metode observasinya selalu merujuk pada teori tertentu?
Bukankah observasi itu dalam arti tertentu juga hanya berlaku pada situasi
tertentu saja? Bagaimana melihat adanya sintaksis antara observasi, bukti dan
teori?
Bagi para
konstruktivis sosial, masalah relevansi bukti memberikan permasalahan baru bagi
mereka. Dalam observasi, kita dapat melihat dua hal yang berbeda dalam satu
kajian objek yang sama, sebab kita melihat dengan pendekatan yang berbeda,
tergantung teori mana yang dipakai. Menurut Thomas S. Kuhn, observasi itu teori
laden (hanya mempunyai arti pada
bagian teori itu sendiri).[7]
Hal ini di satu sisi menyediakan pengertian yang jelas mengenai bagaimana bukti
itu menjadi relevan, tetapi di sisi lain sangat tidak memuaskan karena cukup
sulit untuk dilihat bagaimana bukti mendukung sebuah teori jika tergantung pada
teori tersebut.
Seperti yang telah dijelaskan di atas, pada kenyataannya
relevansi di antara bukti dan teori ditentukan oleh konteks di mana teori
tersebut dikonstruksi dan dievaluasi. Longino mengatakan bahwa jika kita
mengakui ketergantungan bukti dengan konteks, maka kita juga dapat memberi
pembenaran mengenai logika kontekstual-kultural yang menyertainya.[8]
Dalam hal ini, kita dapat memahami fakta bahwa sains adalah perpaduan antara aktivitas
sosial dan aktivitas publik. Pada tahap ini, ia sekaligus ingin menunjukkan
bahwa konstruksi sains secara sosial dapat dilihat sebagai objektif.
2.
Masalah
Subjektivitas dan Individualisme
Para neo-positivis
yang mendasarkan pemikirannya pada Karl Popper membedakan metode pendekatan
ilmiah ke dalam dua konteks, yaitu konteks penemuan (context of discovery) dan
konteks pembenaran (context of
justification). Mereka melihat
bahwa dalam konteks penemuan, suatu hipotesis masih memuat unsur-unsur
subjektif-psikologis dari para peneliti. Sementara itu, dalam konteks
pembenaran, unsur-unsur subjektif itu sudah dipinggirkan. Fokus dalam konteks
pembenaran ini terletak pada data dan fakta yang diteliti. Elemen-elemen
subjektif yang ada sebelumnya itu dikikis dengan percobaan-percobaan yang
terkontrol, deduksi yang ketat, dan
lain sebagainya. Pada konteks pembenaran inilah, seorang ilmuwan mengerahkan segenap
daya dan upaya supaya hasil penelitiannya menjadi sungguh-sungguh objektif.
Oleh sebab itu, pada dasarnya, para neo-positivis hanya mengizinkan adanya
faktor subjektif (non empirical discovery),
seperti mimpi, mental, inspirasi dan lain-lain dalam konteks penemuan (context of discovery) saja. Dengan
demikian, ketika masuk ke dalam konteks pembenaran, faktor generatif diabaikan
dan hipotesis dipertimbangkan hanya dalam hal-hal yang dapat diobservasi.
Lebih lanjut,
dalam menjelaskan objektivitas, Longino menangkap kecenderungan para ilmuwan
terutama para empiris tradisional untuk memahami objektivitas dalam kaitannya
dengan individualitas. Para tradisionalis cenderung menganggap objektivitas
sebagai karakteristik dari individu pelaku penelitian ilmiah karena kemampuan
nalar seorang individu. Menurut mereka, rasionalitas individu pelaku penelitian
menjadi jaminan bahwa suatu penelitian itu objektif. Longino melihat bahwa
kecenderungan memahami objektivitas sebagai karakteristik dari individu ini
dapat jatuh pada ekstrem individualisme.
Dalam rangka menanggapi konsep
objektivitas para positivis di atas, Longino mengajukan konsep objektivitas
sebagai suatu usaha komunikasi bersama dalam pencapaian komunal. Sedikit banyak
pemahaman Longino tersebut dipengaruhi oleh Kuhn. Kuhn memperlihatkan bahwa
dalam kalangan para ilmuwan, ada komunitas yang akan menilai sejauh mana hasil
penelitian diterima dan diakui. Kuhn menekankan peran faktor subjektif dalam
suatu penelitian ilmiah.[9] Longino
tidak memahami objektivitas sebagaimana yang dipahami para empiris tradisional
itu. Longino memahami objektivitas bukan sebagai karakteristik dari individu,
melainkan sebagai metode ilmiah, baik yang dilakukan oleh seorang individu
ataupun komunitas peneliti. Sekali lagi, Longino merujuk pada pemaparan Kuhn
bahwa dalam mengusahakan objektivitasnya, suatu metode ilmiah tidak hanya
dilakukan secara individual saja, melainkan dipengaruhi dan dinilai oleh
komunitas para ilmuwan di manapun ia bergabung. Oleh karena itu, menurut Longino, dalam
penelitian ilmiah hendaknya disadari adanya faktor-faktor sosial dan subjektif.
3.
Kritisisme
dan Pengetahuan Sosial
Menurut Longino,
ada dua cara yang memungkinkan untuk melihat bagaimana metode saintifik atau
pengetahuan saintifik itu objektif, bahkan dalam pengertian kontekstualis. Cara
pertama ialah kembali pada ide tentang sains sebagai praktik seorang ilmuwan.
Karena kita bepikir bahwa tujuan dari seorang ilmuwan adalah pengetahuan, maka
ia pasti akan mencoba mengikuti tradisi dan mencari solusi menurut hukum
universal. Cara kedua adalah dengan memperhatikan bahwa sains sebagai praktik
memungkinkan metode saintifik sebagai sesuatu yang pertama-tama bukan tindakan
individual, melainkan kelompok sosial (bukankah metode yang disepakati juga
merupakan hasil konsensus sosial?).
Untuk menegaskan
pemikirannya, Longino juga mengutip Marjorie Grene dalam esainya “Perception, Interpretation and the Science”,
yang membicarakan tiga aspek karakter sains sosial[10],
yakni (1) keberadaan disiplin saintifik sebagai “social enterprises”, individu tergantung pada yang lain dalam
praktik-praktik keilmuannya; (2) hal ini berkaitan dengan aspek lain, yakni
sebuah inisiasi yang mewajibkan adanya sebuah pendidikan, belajar bagaimana
teknik-tekniknya, apa yang harus dilakukan kemudian, masuk ke dalam dunia,
belajar bagaimana hidup di dalamnya; (3) para praktisi kemudian secara
bersama-sama membangun jaringan komunitas dan mengembangkan nilai yang mereka
hidupi. Intinya, objektivitas penyelidikan saintifik adalah konsekuensi dari
keharusan menjadi sebuah bagian dari yang sosial dan bukan individual.
Dengan mendasarkan
diri pada penjelasan di atas, Longino memahami pengetahuan saintifik sebagai
produk dari banyak karya individu yang diselenggarakan dalam persetujuan
bersama. Penyelidikan saintifik tidak hanya berisi produksi teori, tetapi juga
interaksi konkrit negosiasi bersama. Dalam interaksi itu, ada proses integrasi
dan transformasi di mana aktivitas individu-individu menjadi sebuah pemahaman
yang koheren. Proses integrasi dan transformasi pengetahuan sainfik ini tidak
diproduksi hanya dari mengumpulkan individu-individu ke dalam satu kesatuan. Di
Pengetahuan saintifik diproduksi lewat proses kritis perbaikan dan modifikasi
produk individu dalam sandaran komunitas saintifik. Dalam hal ini ada proses
pengujian, pengulangan dan pereformulasian secara kritis sebelum menjadi sebuah
bagian dari kanon saintifik yang dilakukan dalam sandaran komunitas saintifik.[11]
Karakter sosial
pengetahuan saintifik itu diorganisasi dan ditentukan oleh sistem kontrol atau peer review.[12] Peer review menentukan penelitian macam
apa yang mendapatkan dana dan penelitian macam apa yang dapat dipublikasi dalam
jurnal. Fungsi dari peer review di
sini tidak hanya untuk mengecek bahwa data terlihat benar dan kesimpulannya
masuk akal, tetapi juga untuk membawa sebuah cara pandang yang lain atas
fenomena, meninjau kembali cara berpikir dan bagaimana observasi serta kesimpulan
itu dihadirkan. Apa yang akan menjadi pengetahuan saintifik adalah hasil
kolektif lewat bentrokan (clashing)
dan saling mengaitkan (meshing)
berbagai jenis sudut pandang. Dengan kata lain, tujuan dari proses ini adalah untuk
meyakinkan bahwa dalam menginterpretasikan data, pengarang bebas dari
preferensi subjektif.
Karakter sosial
mengenai penerimaan hipotesis menekankan publisitas sains. Publisitas itu
mempunyai dimensi sosial dan logis. Artinya, dalam dimensi sosial, kita akan
menganggap sains itu sebagai milik publik (public
resource).[13]
Selain itu, ditinjau dari dimensi logis, dapat diterima siapa pun yang
mempunyai pendidikan dan kepentingan yang terkait. Dalam arti ini publisitas menjadi penting
dalam menghantarkan ke suatu objektivitas dalam arti: (1) kita mempunyai bahasa
bersama untuk mendeskripsikan pengalaman dan pikiran kita. Hal ini berarti
bahwa kita dapat memahami satu sama lain, menerima/menolak hipotesis, memformulasikan,
dan meresponnya; (2) objek pengalaman yang kita gambarkan dan pikirkan diakui
ada secara independen, terpisah dari cara kita melihat dan berpikir tentangnya.
Hal ini dapat dicapai lewat kritisisme intersubjektif yang akan memunculkan
objektivitas.[14]
Berbagai bentuk
kritisisme pada dasarnya mempunyai peran sentral dalam mengembangkan
pengetahuan saintifik. Kritisisme ini memang hendak mempertanyakan segalanya,
termasuk latar belakang kepercayaan yang bermain di belakang sebuah hipotesis,
tetapi tidak menghilangkan secara total aspek subjektif dalam praktik sains
individu atau komunitas, melainkan lebih menyediakan praktik checking yang berpengaruh pada formasi
pengetahuan saintifik. Oleh sebab itu, kritisisme itu sendiri transformatif, dalam
arti menyediakan kesempatan untuk mengarahkan ilmu pada sebuah objektivitas.
Oleh sebab itu, secara historis dan
sosial, pengetahuan saintifik adalah aktivitas banyak individu. Sebuah
diskursus kritis membuat suatu pendapat dari seorang individu itu bukan hanya
sebuah opini belaka, tetapi sungguh-sungguh pengetahuan. Dengan ini, hendak
dikatakan bahwa objektivitas adalah praktik komunitas sains daripada individu.
Tindakan individu selalu bergerak dalam terang atau paradigma komunitasnya. Kelayakan
standar teori, seperti yang telah dikatakan, dijamin oleh kritisisme
intersubjektif, yang di dalamnya objektivitas dibangun.
4.
Komunitas
itu Objektif
Menurut Longino,
menyamakan objektivitas metode saintifik melulu dengan ciri empirisnya
merupakan suatu kekeliruan. Baginya, objektivitas juga mengenal derajat atau
kadar. Kadar objektivitas metode penyelidikan saintifik akan semakin tinggi
jika semakin tinggi pula prosedur yang ditempuh, dan hasil yang diperoleh
senantiasa tanggap terhadap kritik. Oleh sebab itu, objektivitas tidak hanya
terdiri dari sekumpulan kritisisme intersubjektif, tetapi juga dalam tingkat di
mana prosedur dan hasilnya dapat dipertanggungjawabkan dalam berbagai jenis
kritisisme.
Komunitas saintifik akan mempunyai
kadar objektivitas jika memenuhi empat kriteria berikut: (1) Terbuka pada jalan
kritisisme. Dalam hal ini terbuka pada sejumlah standar forum publik seperti
jurnal, konferensi dan lain-lain. Peer review
menunjukkan standar jalan ke kritisisme, membersihkan dari unsur-unsur
subjektif untuk menajamkan pengetahuan; (2) Standar bersama: penerimaan teori
selalu berkaitan dengan fungsi standar publik, sehingga tidak tergantung dari
komunitas saintifik tersebut. Dasar atau tolok ukur yang dipakai ilmuwan untuk
menilai objektivitas ilmiah adalah kesederhanaan (langkah-langkah dalam
penerapan metode harus singkat), keindahan, keluasan aplikasi dan ketepatan
prediksi; (3) Respon komunitas: komunitas akan menjamin objektivitas jika di
dalam komunitas keilmuan itu terjadi diskusi kritis dan terbuka untuk dikritik.
Diskusi kritis dapat saja mengubah tesis yang semula dimunculkan. Tesis
tersebut tidak perlu ditarik. Orang hanya perlu terbuka pada revisi-revisi yang
muncul dalam diskusi kritis. Dengan begitu, suatu pemahaman dapat dinilai
mempunyai kualitas jika mampu mempertahankan tesisnya di hadapan diskusi kritis
yang dimunculkan dalam public; (4) Kesetaraan otoritas intelektual: ingin
mengedepankan prinsip demokrasi dalam kegiatan keilmuan. Setiap peserta diskursus
harus dipandang sama, sehingga perlu diberikan kesempatan yang sama dalam
prosesnya. Dengan mengikuti keempat tingkatan itu, objektivitas penelitian yang
diadakan oleh suatu komunitas ilmiah dapat dijamin secara publik.
Pada bagian sebelumnya, Longino
mengungkapkan argumennya bahwa nilai-nilai kontekstual, yang di dalamnya
terdapat kepentingan-kepentingan dan asumsi-asumsi yang mengandung nilai (value-laden), dapat mempengaruhi praktik
saintifik. Nilai-nilai kontekstual tersebut dapat mempengaruhi hasil penyelidikan
dalam praktik saintifik tanpa melanggar kaidah-kaidah konstitutif sains.[16] Pemahaman
ini menjadi amat penting untuk mengetahui motif dari tindakan penelitian. Pada
bagian ini, Longino ingin membahas macam-macam penelitian yang di dalamnya
terdapat interaksi nilai konstitutif-kontekstual.
1.
Macam-macam
Interaksi Nilai Sains
Para
cendikiawan mengenal beberapa cara yang terbatas untuk menunjukkan bahwa nilai-nilai
kontekstual mempengaruhi sains, baik itu sains murni maupun terapan. Pertama
adalah dengan menghubungkan dampak penyelidikan pada nilai-nilai yang lebih
luas dari konteks sosial dan kulturalnya.[17]
Sebagai contoh, di Amerika Serikat, dalam sebuah penelitian biologis, dapat
ditelusuri bahwa di dalamnya terkandung kecenderungan personal seorang peneliti
dan juga pihak sponsor yang mendanai proyek penelitiannya. Seringkali
kepentingan pemberi dana ini turut mempengaruhi penelitian jenis mana yang akan
dijalankan. Dalam hal ini, nilai-nilai kontekstual tidak dapat tidak
mempengaruhi penelitian.
Kedua, melihat
keputusan-keputusan kebijakan eksplisit tentang penerapan perkembangan sains
dan teknologi. Longino memberikan contoh perdebatan pengambilan energi nuklir
dan rekayasa genetika. Upaya penerapan perkembangan sains dan teknologi itu
mengandung ketidaksetujuan baik secara faktual maupun normatif.[18]
Dalam konteks Indonesia, pernah terjadi perdebatan mengenai pengembangan energi
nuklir. Pemerintah memiliki dana terbatas. Kemudian, Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) dalam rangka
penelitian nasional untuk mengembangkan energi harus memilih apakah dana akan
dipakai untuk meneliti energi nuklir atau energi lainnya, misalnya energi
angin, air atau sinar matahari. Dari situ pasti ada nilai-nilai kontekstual
yang masuk, misalnya pertimbangan faktor kesehatan publik.
Ketiga, melihat
konflik yang potensial antara nilai-nilai moral dan cara melakukan penelitian
yang spesifik, penelitian tertentu dengan subyek manusia atau penelitian yang
dapat membahayakan masyarakat umum, misalnya penelitian penggunaan obat baru
pada manusia.[19]
Di Amerika Serikat, pernah terjadi skandal dalam kasus terkait penelitian daya
tahan tubuh manusia terhadap penyakit gonorrhea
(raja singa) dan yang menjadi obyek penelitian adalah orang-orang kulit hitam.
Penelitian itu tujuannya untuk mengukur seberapa jauh daya tahan tubuh manusia
terhadap penyakit gonorrhea
seandainya tidak diobati. Kemudian dalam praktiknya, penyakit itu dibiarkan
sampai parah. Ini merendahkan kulit hitam dengan tujuan tertentu. Penelitian
semestinya terkait dengan nilai-nilai etis.
Setiap jenis
interaksi antara ilmu pengetahuan dan nilai-nilai dapat dianalisis menurut
model “eksternalitas”. Ada lima kategori yang menunjukkan bahwa nilai-nilai
kontekstual dapat membentuk pengetahuan, antara lain:[20]
a. Praktik:
Nilai-nilai kontekstual dapat mempengaruhi praktik-praktik pada integritas
epistemik suatu ilmu pengetahuan.
b. Pertanyaan:
Nilai-nilai kontekstual dapat menentukan pertanyaan mana yang dapat diajukan
dan yang tidak berkaitan dengan suatu peristiwa keterberian (given phenomenon).
c. Data:
Nilai-nilai kontekstual dapat mempengaruhi deskripsi data, di mana term yang memuat nilai dapat dipakai
dalam deskripsi data dan nilai-nilai eksperimental-observasional dapat
mempengaruhi pemilihan data atau macam-macam fenomena untuk diinvestigasi.
d. Asumsi
spesifik: Nilai-nilai kontekstual dapat diungkapkan atau mendorong latar
belakang asumsi yang memudahkan intervensi dalam ruang lingkup spesifik sebuah
penyelidikan.
e. Asumsi
global: Nilai-nilai kontekstual dapat diungkapkan atau mendorong penerimaan
global, asumsi yang luas, yang menentukan ciri penelitian dalam seluruh bidang.
2.
Asumsi
Global[21]
Tipe
interaksi ketiga antara sains dan nilai-nilai merupakan hal yang saling berhubungan
antara nilai-nilai kontekstual dan asumsi-asumsi global yang menentukan
karakter penelitian dalam keseluruhan bidang. Ketika klaim teoretis ilmu
pengetahuan digunakan untuk mengarahkan intervensi teknologi bagi dunia
alamiah, dapat dikatakan pula bahwa klaim tersebut berhasil. Akan tetapi, ini
merupakan keberhasilan instrumental, yang tentunya berbeda dengan pengertian
epistemologi. Keberhasilan instrumental dinilai dari sejauh mana teori berhasil
mendeskripsikan kenyataan dunia secara akurat. Sebagai contoh: penciptaan
energi nuklir dapat menghasilkan listrik, roket dapat mencapai bulan sehingga
mampu mengirim gambar planet Saturnus dan Yupiter, dan jagung hibrida mampu
bertahan dalam kondisi kekeringan.
Suatu teori
dapat dikatakan berhasil ketika dapat digunakan untuk memprediksi secara tepat
konsekuensi-konsekuensi empiris baik itu kejadian alam atau intervensi dan
manipulasi manusia atas alam. Hal itu kadang-kadang menjadi alasan diterimanya
suatu teori. Akan tetapi, menerima teori hanya untuk tujuan
praktis-instrumental dan menyatakannya sebagai kebenaran adalah hal berbeda.
Keberhasilan teori bukanlah sebuah gagasan epistemologis, tetapi lebih pada
gagasan praktis yang tujuannya adalah untuk mencapai control semakin besar atas
hidup dan lingkungan. Tujuan ini menunjukkan sebuah nilai yang melekat pada
konteks di mana ilmu pengetahuan itu terapkan.
Menurut Bas
van Fraassen, ukuran keberhasilan ilmu pengetahuan dapat dijelaskan hanya
dengan pengandaian bahwa tujuan ilmu pengetahuan adalah untuk kecukupan
empiris. Menurutnya, kebenaran tidak disyaratkan untuk menjelaskan keberhasilan
instrumental sebuah teori. Konteks sosial-historis yang akhirnya membuat para
ilmuwan memilih pendekatan mekanis daripada organik. Contoh yang sangat jelas
dapat kita lihat pada masyarakat abad XVII-XVIII yang mengalami Revolusi Industri.
Penemuan mesin uap pada saat itu ternyata menjadi penggerak perubahan. Dengan
demikian, tidak mengherankan jika pendekatan mekanis itu lebih dipilih daripada
mendekati realitas secara organik.
Filsafat
mekanistis berasal dari analogi antara fenomena alam dan mesin. Menurut
sejarawan E.J. Dijksterhuis, berkembangnya teori mekanis merupakan emansipasi
mekanik sebagai sebuah ilmu pengetahuan. Hal itu tidak lepas dari paham mekanis
yang berkembang dari filsafat alam yang melihat dunia sebagai sebuah mesin
besar, yakni dunia yang dapat dijelaskan dengan matematika. Seluruh perubahan
dapat dijelaskan dengan mengacu pada kekuatan dari luar. Keberhasilan suatu
terori merupakan pencapaian kesuksesan pragmatis. Hal ini secara langsung tidak
membenarkan filsafat, tetapi lebih sebuah teori mekanis tertentu. Bagaimanapun
juga, filsafat alam secara tidak langsung dibenarkan sebagai sumber atau model
umum dari suksesnya teori.
3.
Obyek
Penyelidikan[22]
Refleksi
tentang pengembangan ilmu pengetahuan modern ini dimaksudkan untuk memberikan
ilustrasi satu tipe pengaruh nilai kontekstual pada penyelidikan saintifik, di
mana nilai-nilai diungkapkan atau mendorong pemakaian kerangka asumsi yang
menentukan karakter penelitian dalam segala bidang. Apa yang Longino coba
tunjukkan adalah bahwa konsep yang sangat umum pada satu jenis fenomena yang
sedang diinvestigasi menembus pertanyaan para ilmuwan modern awal, yakni
persoalan tentang alam. Pertanyaan itu adalah diri mereka sendiri yang
terhubung dengan kebutuhan dan kepentingan konteks sosio-ekonomi-kultural di
mana mereka melakukan penyelidikan.
Beberapa
sains (penyelidikan metodis) harus mencirikan materi subyeknya di awal cara
yang menjadikan bermacam-macam penjelasan yang tepat dan yang tidak tepat
lainnya. Karakterisasi ini muncul dalam kerangka pertanyaan. Misalnya, terdapat
perbedaan antara pertanyaan teleologis dan mekanis. Pembedaan pertama adalah
satu yang ditekankan dalam perdebatan awal tentang teleologi, yang disebut
sebagai perbedaan antara perubahan situasi kausal dan sengaja. Ilmu pengetahuan
teleologis adalah ilmu yang di dalamnya termuat tujuan yang mengarahkan seluruh
proses. Justru di dalam ilmu pengetahuan teleologis itu, manfaat langsungnya
tidak secepat yang mekanis.
Obyek
penyelidikan tidak pernah hanya sekadar alam atau beberapa bagian tertentu dari
dunia alamiah, tetapi alam di bawah beberapa deskripsi, misalnya alam sebagai
sistem teleologis, alam sebagai sistem mekanis atau alam sebagai sistem
interaktif yang kompleks. Oleh sebab itu, ide obyek pengetahuan dapat membantu
menunjukkan bagaimana nilai-nilai kontekstual ditransformasi ke dalam
nilai-nilai konstitutif.
Macam
pengetahuan yang dicari dan dihadirkan kembali dalam spesifikasi obyek
penyelidikan ini berfungsi sebagai tujuan yang menentukan nilai-nilai
konstitutif. Hal ini membuat stabil penyelidikan dengan cara memberikan asumsi
yang menyoroti macam-macam observasi serta eksperimen dalam terang data yang
diambil dan menjadi bukti bagi hipotesis yang diberikan. Dengan demikian, obyek
penyelidikan merupakan titik temu yang sangat penting dari nilai-nilai
konteksual dan konstitutif dengan hormat pada beberapa bidang penyelidikan.
D. Tanggapan
Kritis
Kami setuju dengan
pendapat Allan Franklin yang menilai tulisan Longino sebagai sebuah karya yang
menarik dan mendalam, terutama terkait dengan usaha untuk mendamaikan sebuah
model sains empiris dengan pandangan sosial konstruktivis.[23]
Meskipun demikian, ia tidak yakin bahwa usaha Longgino berhasil karena ia
menemukan adanya kesukaran-kesukaran dalam pandangan Longino. Allan setuju
dengan pandangan Longino yang menekankan dan menggambarkan nilai-nilai sosial
dan kultural yang masuk ke dalam keputusan yang menyertainya dan pendanaan
penelitian.
Pengetahuan yang
dicirikan selalu bersifat subjektif-objektif, yang artinya, baik struktur dasar
subjek (conceptual frameworks,
sebagaimana diistilahkan oleh Wilfrid Sellars) maupun struktur dasar objek (intelligible essence) ikut menentukan
wujud pengetahuan. Secara umum persepsi dan visi kita tentang realitas di
sekitar kita sangat dipengaruhi oleh sikap emotif dan penilaian kita terhadapnya.
Pernyataan-pernyataan faktual dan praktik-praktik penelitian dalam sains, yang
mendasari penilaian kita untuk mengkategorisasikan mana saja yang faktual dan
mana saja yang tidak, sebenarnya mengandaikan atau tidak dapat lepas dari
nilai-nilai yang telah kita persepsikan dalam diri. Oleh sebab itu, pemisahan
tegas antara fakta dan nilai yang membuahkan pandangan objektivisme
rasionalistik dalam pengetahuan dan subjektivisme emotivistik dalam penilaian,
sebagaimana diajarkan oleh empirisme Inggris dan positivisme logis, pantas
ditolak.
Kami sadar bahwa
maksud tuntutan ini adalah agar ilmu pengetahuan tidak tunduk kepada
pertimbangan lain di luar ilmu pengetahuan sehingga malah mengalami distorsi.
Asumsinya, selama ini ilmu pengetahuan tunduk kepada kepentingan-kepentingan
politik, religius, maupun moral sehingga ilmu pengetahuan tidak bisa berkembang
secara otonom. Akan tetapi, menurut kami tuntutan ini tidak masuk akal karena
pada dasarnya ilmu pengetahuan itu akan selalu bersinggungan dengan berbagai
kepentingan-kepentingan. Pada akhirnya, jika ditempatkan dalam konteks praksis
kehidupan, minat dan kepentingan akan adanya objektivitas pengetahuan
sebenarnya tidak dapat dilepaskan dari arti dan nilai objektivitas sendiri bagi
perkembangan dan kepenuhan hidup manusia sebagai manusia.
Dari pengertian di
atas, dapat disimpulkan bahwa minat dan kepentingan akan adanya objektivitas
dalam sains sebenarnya mengandaikan objektivitas dalam hal moral. Artinya,
penentuan tentang arti dan nilai objektivitas sendiri bagi perkembangan dan
kepenuhan hidup manusia sebagai manusia tidak dapat dilakukan sewenang-wenang
secara subjektif atau tanpa adanya constraint
objektif. Sebagaimana dikatakan J. Sudarminta yang mengutip perkataan Alasdair
MacIntyre, komunitas para ilmuwan adalah salah satu dari komunitas-komunitas
moral umat manusia dan kesatuan komunitas tersebut tidak dapat dimengerti lepas
dari komitmen para anggotanya terhadap cita-cita hidup yang bersifat regulatif
bagi pelaksanaan kegiatan ilmiah mereka.[24] “To be objective, then, is to understand
oneself as part of a community and one’s work as part of a project and part of
history. The authority of this history and this project derives from the good
internal to the practice. Objectivity is a moral concept before it is a
methodological concept, and the activities of natural science turn out to be a
species of moral activity”[25]
Pada akhirnya,
menurut kami para ilmuan harus mempunyai perasaan moral. Ilmuwan yang hidup
dalam lingkungan tertentu dengan segala nilainya, dipersilakan untuk memutuskan
apakah ia akan tetap mengembangkan ilmunya, misalnya jika adanya ilmu itu
justru merugikan masyarakat pada umumnya. Kami yakin bahwa dalam kegiatan
ilmiah itu tidak ada kaidah ilmiah yang dilanggar, tetapi apakah hasil
penelitian itu secara moral dapat dibenarkan? Intinya, menurut kami, segala
kegiatan yang pada akhirnya merendahkan martabat manusia dan merugikan
kepentingan masyarakat secara umum, pantas ditolak.
E.
Kesimpulan
Dalam mencoba
merumuskan kembali objektivitas dalam sains, tanpa mengabaikan sumbangan
gagasan dari kajian sejarah dan sosiologi sains, Helen Longino menekankan bahwa
objektivitas penyelidikan saintifik merupakan konsekuensi dari sifat sosial dan
bukan individual dari kegiatan penyelidikan tersebut. Menurut Longino, dua
pergeseran perspektif memungkinkan kita untuk melihat bagaimana metode
saintifik merupakan sesuatu yang bersifat objektif bahkan ketika mengambil
nilai-nilai kontekstual sains. Pergeseran pertama adalah kembali ke gagasan
sains sebagai praktik atau kegiatan pelaku sains, dan pergeseran kedua adalah
pergeseran dari melihat metode saintifik sebagai suatu yang dipraktikan
pertama-tama oleh suatu kelompok sosial dan bukan oleh individu. Pengetahuan
saintifik merupakan produk banyak individu yang bekerjasama dalam suatu proyek
bersama dalam komunitas para pelaku sains. Dalam komunitas itu ada sebuah
disiplin saintifik yang mengikat para anggotanya. Inisiasi anggota baru ke
dalam komunitas mengandaikan adanya sebuah pendidikan tertentu dan komunitas
itu merupakan bagian dari komunitas masyarakat yang lebih besar. Dari sinilah,
Longino meyakini bahwa selain dimensi konstitutif dari kegiatan ilmiah, yang
sosial itu juga turut andil dalam pembentukan objektivitas dalam sains.
Nilai-nilai
kontekstual pada akhirnya disadari sebagai hal yang mempengaruhi sebuah
penelitian. Dengan demikian, dari penelitian tersebut dapat dilihat motif yang
sebenarnya mendorongnya. Dari argumen Longino, dapat ditarik benang merah bahwa
sains itu tidak pernah murni objektif dan bebas nilai karena selalu ada
kepentingan-kepentingan tertentu di baliknya. Oleh sebab itu, penting bagi kita
untuk mengetahui kepentingan-kepentingan yang mendorong tindakan penelitian
tersebut, supaya kita mengetahui apakah penelitian itu sungguh-sungguh demi
perkembangan manusia atau hanya sebagai sarana pemenuhan kepentingan pihak tertentu.
Daftar
Pustaka:
Arivia, Gadis. Filsafat Berperspektif Feminis. Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan,
2003.
Crasnow,
Sharon L. “Can Science Be Objective? Longino's Science as Social Knowledge”, dalam
Hypatia,
Vol.8, No. 3. Wiley on behalf of Hypatia, Inc., 1993. http://www.jstor.org/stable/pdf/3810414.pdf?_=1463509957248,
diunduh pada tanggal 8 Maret 2016, pkl. 19.00 WIB.
Eigi,
Jaana. “On the Social Nature of Objectivity: Helen Longino and Justin Biddle”,
dalam Theoria: An International Journal
for Theory, History and Foundations of Science , Vol. 30, No. 3 (September
2015), pp. 449-463, University of the
Basque Country (UPV/EHU). http://www.jstor.org/stable/pdf/43686779.pdf,
diunduh pada tanggal 17 Mei 2016, pkl. 21.00.
Franklin, Allan. “REVIEW HELEN LONGINO:
Science as Social Knowledge”, dalam The
British Journal for the Philosophy of Science, Vol. 43, No. 2 (Jun., 1992),
pp. 283-285. Oxford University Press on behalf of The British Society for the
Philosophy of Science. http://www.jstor.org/stable/pdf/687879.pdf,
diunduh pada tanggal 15 Mei 2016, pkl. 07.00 WIB.
Hardiman,
F. Budi. Filsafat Barat Modern: Dari
Machiavelli sampai Nietzsche. Jakarta: Gramedia, 2007.
Keraf,
A. Sonny. Ilmu Pengetahuan: Sebuah
Tinjauan Filosofis. Yogyakarta: Kanisius, 2001.
Longino, Helen. Science as Social Knowledge. Princeton: Princeton University Press, 1990.
MacIntyre, Alasdair .“Objectivity in
Morality and Objectivity in Science”, dalam H. Tristam E., Jr. dan Daniel
Callahan (eds.), Morals, Science and
Society. New York: The Hastings Center Institute of Society, Ethics and the
Life Science, 1978.
Sudarminta,
Justin. Epistemologi Dasar: Pengantar
Filsafat Pengetahuan. Yogyakarta: Kanisius, 2002.
____________ “Objektivitas Kebenaran
Ilmiah: Mungkinkah?”, dalam Diskursus, Vol.
7, No.2, Oktober 2008. Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, hlm. 117-134.
Wray,
K. Brad. Defending Longino’s Social
Epistemology. http://www.philsci.org/archives/psa1998/papers/wray.pdf,
diunduh pada tanggal 17 Mei 2017, pkl. 21.00 WIB.
[1] Helen E. Longino, Science as
Social Knowledge: Values and Objectivity in Scientific Inquiry (Princeton:
Princeton University Press, 1990), hlm.12.
[2] Longino, Science as Social Knowledge , hlm.111.
[3]
Gadis Arivia, Filsafat Berperspektif
Feminis (Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan, 2003), hlm.255-256.
[4] Longino, Science
as Social Knowledge, hlm.62.
[5] Longino, Science as Social Knowledge, hlm.62-63.
[6] Kegiatan ilmiah sebagai
sikap bebas nilai ini dikeluarkan pertama kali oleh Francis Bacon. Bacon
mengatakan bahwa pengetahuan harus
dibebaskan dari praanggapan (idola),
yakni 1) idola tribus: prasangka-prasangka
yang dihasilkan oleh pesona atas keajekan-keajekan tatanan alamiah, sehingga
orang tak sanggup memandang alam secara objektif. 2) idola specus (idola kurungan): sudut pandang yang berasal dari
pendidikan, kebiasaan ataupun kecenderungan individu. Minat dan pengalaman
pribadi mengarahkan cara kita melihat dunia, sehingga dunia objektif
terkaburkan. 3) idola fori (forum =
pasar): pendapat orang diterima begitu saja sehingga mengarahkan keyakinan kita
menjadi tak teruji. 4) idola theatra (panggung) : ajaran teologi atau filsafat
tradisional yang mengklaim telah
membantu manusia untuk memahami diri dan dunianya. Pada dasarnya,itu semua
adalah fiksi, jauh dari realitas. Oleh sebab itu, Bacon mengajarkan, kalau kita
mau mencapai pengetahuan yang sejati, kita harus dimurnikan dari semua idola di
atas yang secara deduktif hendak menentukan pengetahuan kita. Lih. F. Budi
Hardiman, Filsafat Modern: Dari
Machiavelli sampai Nietzsche (Jakarta: Gramedia, 2007), hlm. 29.
[7] Sharon L. Crasnow, “Can
Science Be Objective? Longino's Science as Social Knowledge”, dalam Hypatia, Vol.8, No. 3, Wiley on behalf
of Hypatia, Inc., 1993 http://www.jstor.org/stable/pdf/3810414.pdf?_=1463509957248, diunduh pada tanggal 8
Maret 2016, pkl. 19.00 WIB
[8] Sharon L. Crasnow, “Can
Science Be Objective? Longino's Science as Social Knowledge”, http://www.jstor.org/stable/pdf/3810414.pdf?_=1463509957248
[9] Kuhn memang menekankan
subjektivitas dalam sains. Akan tetapi, bukan berarti Kuhn sepenuhnya seorang
subjektivis total.
[13] Pengetahuan ilmiah itu adalah pengetahuan
publik atau sosial, dalam arti secara sosial dapat dimiliki bersama. Juga dalam
arti, baik secara publik dapat diakses (sekurang-kurangnya secara umum terbuka
bagi publik untuk menguji coba dan dapat digunakan semestinya oleh peneliti
yang kompeten). Lihat J. Sudarminta, Epistemologi
Dasar: Pengantar Filsafat Pengetahuan (Yogyakarta: Kanisius, 2002), hlm.
171.
[14] Dalam
proses publisitas itu ada proses kritisisme intersubjektif yang menjadikan
sesuatu itu mengarah kepada sesuatu yang objektif. Dalam hal ini, ada dua cara
untuk mengkritisi hipotesis: 1) evidential
criticism: mempertanyakan sejauh mana data-data/bukti-bukti mendukung
hipotesis. 2) conceptual criticism:
mempertanyakan “the conceptual soundness
(competency) of hypothesis, konsistensi hipotesis dengan teori yang
diterima, dan mempertanyakan relevansi bukti yang dipresentasikan untuk
mendukung hipotesis. Lih. Longino, Science as Social Knowledge, hlm.69-70.
[15] Longino, Science as Social Knowledge, hlm.
83-102.
[23] Allan
Franklin. “REVIEW HELEN LONGINO: Science as Social Knowledge”, dalam The British Journal for the Philosophy of
Science, Vol. 43, No. 2 (Jun., 1992), pp. 283-285. Oxford University Press
on behalf of The British Society for the Philosophy of Science. http://www.jstor.org/stable/pdf/687879.pdf,
diunduh pada tanggal 15 Mei 2016, pkl. 07.00 WIB.
[24] J. Sudarminta,
“Objektivitas Kebenaran Ilmiah: Mungkinkah?”, dalam Diskursus, Vol. 7, No.2, Oktober 2008, Sekolah Tinggi Filsafat
Driyarkara, hlm. 132.
[25] J. Sudarminta,
“Objektivitas Kebenaran Ilmiah: Mungkinkah?”, hlm. 132, sebagaimana dikutip dalam Alasdair MacIntyre,
“Objectivity in Morality and Objectivity in Science”, dalam H. Tristam E., Jr.
dan Daniel Callahan (eds.), Morals,
Science and Society (New York: The Hastings Center Institute of Society,
Ethics and the Life Science, 1978), hlm. 37.
Commentaires
Enregistrer un commentaire