Nietzcshe: Kehidupan Sebagai Metafora

Tulisan ini dimuat di Majalah BASIS No. 03-04, 2016

Nietzsche adalah filsuf terakhir zaman modern yang mengungkapkan pemikiran serta gagasannya melalui tulisan-tulisannya. Pemikiran dan gagasannya tidak dituangkan dalam uraian sistematis seperti halnya sebagian besar tulisan-tulisan para filsuf modern lainnya, misalnya Kant dan Hegel, melainkan dalam bentuk aforisme, yakni berupa kalimat-kalimat pendek. Justru karena tulisan-tulisannya berbentuk aforisme itulah, di dalamnya terdapat banyak metafora yang maknanya tidak mudah dipahami secara literal (F. Budi Hardiman, 2007:261).  Karena gaya penulisan Nietzsche sangat metaforis, oleh beberapa filsuf dan pemikir sesudahnya, tulisan-tulisannya tersebut dianggap lebih masuk dalam kategori sastra daripada filsafat. Menanggapi anggapan tersebut, seorang filsuf Prancis, Éric Blondel (1942) mencoba menunjukkan unsur filsafat dalam tulisan-tulisan Nietzsche dengan cara mengobservasi pemikiran serta gagasannya mulai dari awal. Dalam esei yang berjudul “Nietzsche: Life as Metaphor” (Éric Blondel, “Nietzsche: Life as Metaphor”, The New Nietzsche, 1977:150-175), Blondel menganalisis gambaran sentral dari pemikiran metaforis Nietzsche tentang metafora dengan menggunakan salah satu aforisme Nietzsche, yakni Vita Femina (Hidup adalah Wanita). Dalam aforisme tersebut, Nietzsche mengungkapkan ambiguitas kehidupan dalam diri wanita yang tampak indah sekaligus tidak indah dan yang tampak memikat sekaligus mengoyak. Analisis Blondel ini secara umum hendak mengafirmasi diskursus Nietzsche bahwa kehidupan itu tidak lebih dari sekadar metafora.
Dalam observasinya, Blondel menyimpulkan bahwa penggunaan gaya metafora Nietzsche sebenarnya menunjukkan sebuah kebutuhan filosofis dan bukan sekadar karya sastra biasa. Dengan mengembalikan arti koherensi dari metafora sebagai gerakan pengalihan atau transposisi dari satu hal ke hal lain dan dengan menganalisis beberapa contoh tulisan Nietzsche, Blondel menunjukkan bahwa sebenarnya Nietzsche menggunakan metafora untuk menunjuk adanya pemisahan antara tubuh dan pikiran, yakni semacam gerakan pengalihan dari sesuatu yang ditekan (represi) ke sebuah budaya. Budaya yang dimaksudkan di sini adalah bentuk kehidupan yang dibangun oleh manusia bagi dirinya sendiri. Dalam budaya, terkandung nilai-nilai yang membuat manusia memiliki identitas diri, kemudian mereproduksi dan juga memegang teguh identitas tersebut dari waktu ke waktu (Douglas Burnham, 2015:87). Dalam hal ini, budaya dapat berbentuk ajaran-ajaran, ketetapan, hukum maupun aturan yang mengandung nilai moral, bahwa dengan hidup sesuai dengan budaya adalah baik sedangkan yang tidak sesuai adalah jahat.
Nietzsche sangat mempersoalkan masalah budaya karena selama ini budaya telah dianggap sebagai sebuah kebenaran tetap (fixed). Dalam genealogi moral, Nietzsche mengatakan bahwa kebenaran yang difiksasi sebenarnya dipengaruhi oleh suatu kebutuhan subyek untuk percaya. Sebagai contoh, dalam moralitas agama, manusia menetapkan agama sebagai satu-satunya dan di luar itu tidak ada kebenaran. Di balik pembekuan (reifikasi) agama sebagai kebenaran itu, sebenarnya ada kebutuhan manusia sebagai subyek yang gundah akan asal-usul dan tujuan hidupnya. Kegundahan ini direpresi dan dialihkan ke arah pembekuan agama sebagai kebenaran tetap.  Pembekuan tersebut memberikan ketenangan dan harapan-harapan bagi manusia sehingga segala kegundahan teratasi.
Menurut Nietzsche, budaya dibentuk oleh pemisahan antara insting (tubuh) dan ekspresi (pikiran). Sebagai makhluk budaya (cultural being), manusia lahir dalam sebuah penyakit akibat pemutusan asali (primal). Sayangnya penyakit ini telah menentukan kondisi terstruktur bagi penalaran (reason) manusia selanjutnya yang berlangsung terus-menerus dari waktu ke waktu. Blondel mengikuti gambaran yang digunakan Nietzsche mengenai penyakit ini, dan ia menemukan bahwa ada sebuah “rasa bersalah” (mauvaise conscience/culpabilité) dalam diri manusia yang digambarkan sebagai represi asali. “Rasa bersalah” ini secara terus-menerus berlangsung dalam diri manusia, sehingga menjadikannya makhluk budaya yang sakit.
Ketika “rasa bersalah” muncul, manusia digambarkan sedang dalam situasi mengidap penyakit. Dalam konteks ini, penyakit yang dimaksud ialah seperti halnya kehamilan yang dialami seorang wanita. Penyakit semacam ini bersifat kontradiktif, yakni menjadikan manusia sakit, tetapi juga produktif (melahirkan harapan dan masa depan baru). Penyakit semacam ini disebut oleh Nietzsche sebagai “ibu” yang melahirkan sebuah budaya, yakni sesuatu yang dapat menghibur dan menghilangkan kecemasan manusia. Dengan demikian, secara simbolis dapat dikatakan bahwa “rasa bersalah” merupakan “ibu” dari manusia yang mengidap penyakit. Lebih dalam lagi, “rasa bersalah” merupakan penyakit itu sendiri. Dalam hal ini, dapat berarti penyakit satu manusia atau juga penyakit kehidupan secara umum.
Salah satu contoh penyakit kehidupan yang baru-baru ini terjadi dapat ditemukan dalam peristiwa tayangan kontes kecantikan di salah satu stasiun televisi yang diburamkan karena menunjukan belahan dada perempuan. Peristiwa ini mengundang perdebatan tentang sensor dan definisi pornografi yang semakin hangat beberapa hari terakhir setelah sebuah stasiun televisi, dalam tayangan ulang kontes kecantikan, memburamkan bagian dada para peserta yang menggunakan kebaya (http://www.bbc.com/indonesia/majalah/2016/02/160224_trensosial_sensor). Jika dicermati, kebijakan pelarangan tayangan konteks kecantikan ini merupakan sebuah budaya yang terbentuk dari represi asali. Di balik kebijakan tersebut, ada represi asali, misalnya: ketidakmampuan manusia mengatasi gejolak seksual. Gejolak seksual yang tidak dapat diatasi tersebut kemudian direpresi sedemikian rupa dan dialihkan ke dalam bentuk kebijakan pelarangan menunjukkan belahan dada.  Nietzsche menyebut budaya yang dihasilkan dari represi asali ini sebagai budaya sakit.
Nietzsche sadar bahwa ia hidup di tengah-tengah budaya modern yang sakit dan ia sendiri juga mengidap penyakit itu. Tulisan-tulisan metaforisnya juga terpengaruh oleh penyakit budaya tersebut. Mengapa ia memilih menggunakan metafora? Bayangkan ketika kita ingin memberitahu atau mengkritik orang yang sakit jiwa, apakah mungkin jika diungkapkan secara langsung? Kritik-kritik tersebut maksimal hanya akan menjadi bahan tertawaan orang yang sakit jiwa itu. Dengan kata lain, tidak mudah menyampaikan gagasan kepada manusia yang sakit selain dengan menggunakan metafora. Tanpa metafora, misalnya dengan mengungkapkan secara langsung, Nietzsche tentunya akan jatuh pada sikap menjadikan gagasannya sebagai kebenaran tetap. Jika demikian, ia masuk dalam budaya baru yang disebabkan oleh represi asali pula sehingga tidak berbeda dengan budaya zaman modern yang ingin dikritiknya.
Dalam proses menjadikan manusia sebagai makhluk budaya secara metaforis, “rasa bersalah” melahirkan apa yang disebut sebagai manusia oedipal, yakni manusia yang telah membunuh “ayah”. Dalam hal ini, budaya telah menyembunyikan atau bahkan menekan tubuh sebagai “ayah” demi dapat memuja pikiran. Kemudian, budaya atau kehidupan itu direpresentasikan sebagai sebuah keterpisahan antara tubuh dan pikiran. Hal ini menjadi dasar dari Oedipus yang oleh Vita Femina digambarkan telah menyembunyikan peran “ayah” sebagai asal-usul manusia dan pikiran-pikirannya.
Selanjutnya, Blondel mencoba menginvestigasi koherensi metafora dari Vita Femina dalam kaitannya dengan apa yang dinyatakan oleh Nietzsche sebagai metafora, yakni tindakan pengalihan dari tubuh ke pikiran atau ke permukaan kesadaran yang dibawa oleh “rasa bersalah”. Salah satu pernyataan metaforis yang terkenal dalam Vita Femina ialah “Ya, hidup adalah wanita!” Pernyataan metaforis ini merujuk pada konsep ontologi metafora Nietzsche. Nietzsche menggambarkan wanita sebagai metafora kehidupan yang istimewa. Letak keistimewaan wanita adalah pada kemampuannya berperan sebagai wujud yang misterius (enigma) sekaligus wujud yang tampak (appearance) dalam waktu yang bersamaan. Budaya yang dilahirkan seorang wanita diawali dengan kebohongan yang berupa represi terhadap tubuh dan kepura-puraan terhadap peran “ayah”. Dengan kata lain, wanita tinggal dalam zona ambiguitas dan ia mengaburkan kepalsuan fundamental dalam wujud yang menipu, misalnya dalam pikiran, moralitas, agama, penalaran, dan lain-lain.
Dalam Ecce Homo, paragraf 5 “Mengapa Aku Menulis Buku-Buku begitu Bagus”, dikatakan sebagai berikut:
… Siapa tahu? Mungkin sayalah psikolog pertama tentang Kewanitaan-Abadi. Semua wanita mencintaiku – ini adalah cerita lama. Memang tidak semua, sejauh disisihkan kaum wanita yang susah, kaum ‘teremansipasi’, mereka yang tidak mempunyai apa yang dibutuhkan untuk mempunyai anak. Untungnya, saya tidak cenderung membiarkan diri dikoyak-koyak: wanita yang sempurna mengoyak saat dia mencinta… Saya tahu betul kaum sinting yang menawan hati tersebut. Ah, binatang buas kecil yang berbahaya, yang tidak pernah terbuka, dan selalu di bawah tanah! Dan, dengan itu semua mereka sangat menawan hati! Wanita kecil yang memburu pemuasan dendamnya akan menjungkirbalikkan nasib seseorang. Secara tak terpahami, wanita lebih jahat daripada laki-laki, juga lebih pintar. Kebaikhatian seorang wanita, itu merupakan bentuk kemunduran… Para wanita yang dijuluki wanita saleh, di balik itu yang ada sebenarnya adalah keresahan psikologis. Sudah, saya hentikan di sini saja, karena kalau tidak saya akan terlalu seperti dokter saja. […]

Dari kutipan aforisme di atas, tampak bahwa Nietzsche menggambarkan wanita yang sempurna adalah simbol untuk alam yang suka menyembunyikan dirinya, enigmatik dan oleh karenanya menantang sebuah relasi ambigu, yakni mengoyak sekaligus memikat (A. Setyo Wibowo, 2004:139).
Keindahan atau kesopan-santunan yang ditampilkan oleh seorang wanita tidak pernah mengungkapkan segala kebenaran tentang dirinya. Bagi wanita, menampilkan yang indah hanya berarti mengekspresikan sesuatu dengan tujuan untuk menyembunyikannya. Selain itu, menampilkan yang indah juga bertujuan untuk melupakan dan terlebih lagi menjadikan orang lain lupa akan apa yang tersembunyi. Selanjutnya, hal ini akan melahirkan kenaifan (naïveté) yang membuat manusia mustahil untuk percaya bahwa tidak ada motif, dasar dan dunia yang tersembunyi di baliknya. Oleh karena itu, manusia terdorong untuk menjadi pencari kebenaran yang selalu berhasrat untuk menyingkap sesuatu yang tersembunyi di balik selubung wanita.
Dihadapkan dengan Vita Femina, Blondel menemukan sosok pencari kebenaran dalam diri filsuf bingung (perplexed philosopher) yang selalu ingin mencari kebenaran tetap. Nietzsche menyebut para filsuf pencari kebenaran tetap ini sebagai manusia oedipal yang merujuk pada mitos Oedipus. Dalam mitos Oedipus, dikisahkan setelah membunuh ayahnya, ia berada di hadapan wanita Sphinx (makhluk separuh wanita dan separuh singa) yang mengajukan teka-teki kepadanya, dan ia berhasil menjawab teka-teki tersebut sehingga akhirnya diangkat menjadi raja Thebes. Kebenaran yang tampak dan tersingkap sebenarnya bersifat oedipal, karena dibawa oleh seorang yang telah membunuh ayahnya (tubuh). Para filsuf bingung mencari kebenaran seolah-olah kebenaran itu tersembunyi.
Nietzsche menyebut ada sosok lain selain filsuf bingung. Mereka adalah para filsuf dokter (philosopher-physician) yang tidak melulu ingin mencari kebenaran di balik sesuatu yang tersembunyi, melainkan tetap teguh pada wujud yang tampak dan tidak memikirkan apa yang sebenarnya ada di balik wujud yang tampak tersebut. Pertanyaan yang tidak pernah dipahami oleh para filsuf dokter ini ialah “Apa itu kebenaran bagi wanita?” Bagi Nietzsche, kebenaran dalam diri wanita tidak lebih dari kebohongan atau kepalsuan. Wanita yang percaya pada kebenaran tidak lain dan tidak bukan adalah penyamaran atau selubung. Apapun yang mendalam, di mata wanita ini adalah selubung belaka (A. Setyo Wibowo, 2004:134). Selanjutnya, para filsuf dokter harus mengakui bahwa Vita Femina telah memainkan dan menyusun dirinya sendiri dengan ambiguitas. Secara naif wanita menciptakan ilusi yang membuat para filsuf dokter ini percaya bahwa ia hanya sekadar yang tampak dari luar.
Dalam pandangan Nietzsche, diperlukan sosok filsuf bermental Dionysian yang memiliki Kehendak Kuasa yang kuat sehingga mampu mengatasi ambiguitas dan kontradiksi kehidupan. Menjadi bijak dalam cara Dionysian berarti tinggal dekat dengan permukaan “kulit luar” dari Vita Femina. Dalam pengantar The Gay Science, dirangkum seluruh analisis metafora feminin dengan tujuan untuk mendefinisikan bagaimana para filsuf dokter seharusnya bersikap, yakni bahwa mereka harus menyatakan dirinya sebagai seniman (artist). Berkaitan dengan seni, Nietzsche menggunakan misteri Dionysian untuk menunjukkan sosok yang meng-iyai realitas kehidupan apa adanya yang kontradiktif dan enigmatik (Ja-Sagen). Dalam misteri Dionysian, dikisahkan Dionysos, “dewa mabuk atau dewa anggur”, mengadopsi selubung Apollo, “dewa topeng”, dan wajah enigmatiknya. Hal ini menunjukkan pergeseran dari keilahian yang satu ke yang lain yang dapat disebut metafora, secara khusus karena Nietzsche mengungkapkan dalam bahasa yang melampaui Appolonian, yakni diskursus metaforis, puitis dan imajis. Dalam gambaran ini, tampak bahwa keunggulan Dionysos terlebih dahulu mensyaratkan tindakan meminjam selubung Apollo. Dengan kata lain, Dionysos tanpa Apollo tidak berarti apa-apa, dan bahkan dapat menggiring jurang tanpa dasar yang mematikan dan sekali lagi akan menjadi seperti Oedipus.
Dalam mitos Oedipus, dikisahkan bahwa jawaban Oedipus atas teka-teki Sphinx menunjukkan gambaran kehidupan yang tidak akan mungkin selain dengan cara melupakan kenyataan bahwa ia telah membunuh ayahnya. Kehidupan seperti halnya budaya didasarkan pada peristiwa pembunuhan ayah. Dengan demikian, kehidupan dan budaya hanya mungkin sebagai metafora, yakni pengalihan dan juga kebohongan dari insting. Dengan penggambaran ini, kebenaran menjadi bersifat mortal dan ilusi menjadi kondisi dari kehidupan.
Selain filsuf dokter, tampil pula para filsuf pengetahuan tragis yang mengatur insting akan pengetahuan yang tak terkendali tanpa jatuh pada identitas sebagai metafisikus baru. Nietzsche menyebut mereka sebagai filsuf seniman (philosopher-artist), karena mereka mampu mengisi gambaran eksistensi menurut segala sesuatu yang merupakan hasil pengetahuan yang tidak lebih dari antropomorfisme. Maksudnya adalah kebenaran hanyalah kumpulan metafora dan antropomorfisme yang tidak mengatakan apapun tentang realitas kehidupan yang ingin dikatakan tetapi lebih mengatakan kebutuhan subyektif manusia pengujar (A. Setyo Wibowo, 2004 :125). Bagi Nietzsche, manusia membutuhkan seni supaya tidak mati akan kehendak mencari kebenaran. Untuk itu, dibutuhkan peran sosok manusia kuat yang dapat melawan kehidupan. Manusia kuat ini akan menjadi seniman dan represi derivatif-nya akan lebih memuja tubuh daripada pikiran.
 Para filsuf seniman sadar bahwa ilusi kehidupan yang indah sebagai seorang wanita subur ini juga menandai ambiguitas kematian. Maksudnya adalah bahwa pada dasarnya kehidupan merupakan penyakit dan pemisahan antara tubuh dan pikiran. Untuk menunjukkan tahapan metaforis dari Vita Femina, Blondel menggunakan konsep metafora secara pragmatis dengan tujuan membangun dan memperjelas konsep ini dalam diskursus Nietzsche secara keseluruhan. Metafora yang berarti pengalihan menunjuk budaya sebagai penyakit yang tidak pernah terekspos kepada manusia kecuali sebagai Ada/Being yang sudah berubah dalam dirinya sendiri.
Sebagai makhluk budaya, hubungan manusia dengan dunia dan benda-benda di sekitarnya bersifat metaforis. Nietzsche mengklaim bahwa hubungan manusia dengan eksistensi bersifat fiktif dan puitis. Manipulasi nyata dari wujud yang tampak telah ditunjukkan oleh ilmu pengetahuan, moralitas dan agama yang sebelumnya dianggap sebagai kebenaran. Menurut Blondel, hanya senilah yang benar di mata Nietzsche. Seni memperlakukan wujud yang tampak sebagai wujud yang tampak. Oleh karena itu, seni tidak pernah berusaha untuk menipu. Dengan demikian, kriteria sebuah kebenaran menjadi paradoksal. Seni menjadi benar karena memunculkan metafora. Sementara itu, segala bentuk ilusi yang terwujud dalam ilmu pengetahuan, moralitas maupun agama dapat diblok dalam seni. Segala bentuk kepalsuan dibentuk sebagai penghalang metafora yang diulang-ulang secara terus-menerus.
Sisi Dionysian sebenarnya menggambarkan realitas dunia atau kehidupan sebagai yang sama sekali tidak indah sekaligus kemungkinan penciptaan dari yang mengerikan. Apollo secara berlebihan telah mengaburkan elemen metaforis dalam seni, yakni wujud metaforis dari Vita Femina. Oleh karena metafora dan juga eksesnya, manusia lupa bahwa ia merupakan makhluk metaforis. Puncak dari metafora adalah melupakan bahwa ia lupa sebagai makhluk metaforis. Apollo adalah metafora dari Dionysos. Dalam metafora seni Apollonian, yang terlupakan adalah kematian Dionysos yang juga berarti melupakan berkembangnya metafora, yakni pengkristalan dari wujud yang tak terbatas dan penyimpangan ke titik kematian. Oleh sebab itu, metafora artistik kemudian muncul sebagai permainan yang diatur oleh Yang Sama (Apollo) dan Yang Lain (Dionysos).
Dalam refleksinya, Nietzsche menemukan bentuk harmonis dari perpaduan antara Apollonian dan Dionysian dalam menyikapi sebuah budaya atau kehidupan. Dua energi ini bersatu dan saling meningkatkan satu sama lain. Yang mengerikan tidak lagi sekadar menghancurkan, dan yang tampak tidak lagi menipu. Dua macam keilahian ini hendak mengungkapkan harapan terhadap sosok manusia melampaui (Übermensch) sebagai metafora dari konsep metafora, atau metafora dari manusia. Dalam perpaduan keduanya, seni tragedi dalam budaya atau kehidupan menjadi penampakan indah yang tidak menipu. Perpaduan itu juga menampilkan seni bentuk yang menyimbolkan dengan indah kebenaran mengerikan dari realitas kehidupan. Dengan kata lain, seni bentuk yang juga berarti realitas kehidupan itu pun menyadari bahwa dirinya hanyalah topeng, bahwa dirinya adalah selubung yang tidak pernah menyingkap realitas secara mendalam dan menyeluruh, dan bahwa dirinya adalah metafora (A. Setyo Wibowo, 2004:146).
Dari seluruh uraian di atas dapat disimpulkan demikian. Blondel mengawali observasi terhadap pemikiran Nietzsche dengan menitik-beratkan pada persoalan budaya. Budaya lahir dari pemisahan antara tubuh dan pikiran. Selanjutnya, kehidupan direpresentasikan sebagai sebuah keterpisahan antara tubuh dan pikiran. Keterpisahan itu melahirkan penyakit yang mendorong manusia untuk merepresinya sehingga tidak tampak. Dalam Vita Femina, digambarkan sosok wanita yang ambigu, yakni menampakkan yang indah sekaligus yang tidak indah. Hal ini juga menunjukkan bahwa kebenaran (dalam diri wanita) tidak lain adalah kepalsuan dan kebohongan. Dengan kata lain, budaya sama halnya dengan kehidupan dan juga wanita yang tidak lain dari kepalsuan sehingga dapat disebut metafora. Selanjutnya, Nietzsche menggunakan misteri Dionysian untuk memampukan manusia tinggal dekat dengan permukaan dan mengagumi kulit luar dari Vita Femina melalui seni. Blondel menarik kesimpulan bahwa seni adalah satu-satunya kebenaran yang tidak pernah menipu. Dalam seni, manusia lupa bahwa ia lupa, bahwa ia berbohong, bahwa ia menemukan metafora, sedangkan manusia reaktif (hasil dari ketidakmampuan menciptakan metafora) lupa untuk lupa bahwa ia lupa. Blondel menutup analisisnya dengan memaparkan gambaran Nietzsche tentang perpaduan harmonis antara Dionysian dan Apollonian untuk mengungkapkan harapannya terhadap sosok manusia melampaui (Übermensch) sebagai metafora dari manusia. Dari perpaduan keduanya, seni tragedi menjadi penampakan yang indah dan tidak menipu. Selain itu perpaduan ini juga menampilkan seni bentuk yang menyimbolkan dengan indah kebenaran mengerikan dari realitas. Dengan kata lain, seni bentuk atau realitas kehidupan itu pun menyadari bahwa dirinya hanyalah topeng (A. Setyo Wibowo, 2004: 146). Dengan demikian, sama halnya dengan mengatakan bahwa kehidupan hanya sekadar metafora.

Rujukan
A. Setyo Wibowo, Gaya Filsafat Nietzsche, Yogyakarta: Galang Press, 2004.

Douglas Burnham, The Nietzsche Dictionary, London: Bloomsbury Academic, 2015.

Éric Blondel, “Nietzsche: Life as Metaphor”, The New Nietzsche, New York: Rell Publishing Co, 1977.

F. Budi Hardiman, Filsafat Modern, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2007.


Commentaires

Posts les plus consultés de ce blog

Semar vs Batara Guru

Objektivitas, Nilai-nilai dan Sains sebagai Pengetahuan Sosial

Kepribadian Indonesia Modern (Review)