Memaknai Kematian
Kematian sudah ada di sana dan menanti kita. Bagaimana kita memaknai realitas kematian yang menurut Martin Heidegger merupakan bagian dari struktur ontologis dari eksistensi manusia dan sekaligus menjadi tolok ukur otentisitas manusia? Penting, berguna, dan perlu kah berbicara tentang kematian itu? Pertanyaan-pertanyaan soal kematian ini barangkali rumit, sulit dijawab, terlalu eksistensial, dan mungkin menggangu, meresahkan, atau bahkan sampai menyiksa kita (yang masih INGIN hidup). Kalau bisa hal-hal seputar kematian—termasuk penyakit dan usia tua yang membuai kita berpikir pada « memento mori » (Ingatlah akan kematian!)—kita singkirkan jauh-jauh dari kehidupan; kalau bisa mereka yang sudah meninggal kita tempatkan (makamkan) sejauh mungkin dari tempat tinggal kita yang masih hidup; dan kalau bisa mari kita bicara saja hal-hal yang berkaitan dengan kehidupan.
Sayangnya, semua itu terhenti pada « kalau bisa ». Se-ngotot apa pun kita menghindari kematian bahkan dengan cara menenggelamkan diri dalam anonimitas kehidupan modern sekalipun; se-nekat apa pun kita berusaha menyingkirkan kematian, « elle est toujours là et nous attend » (ia selalu ada di sana dan menanti kita) dan « c’est la direction vers laquelle nous allons tous… » (kita semua sedang berjalan menuju ke arahnya). Maka, ke-fana-an kita sebagai manusia tetap merupakan suatu truisme. Memang, kita pernah dan mungkin masih bermimpi tentang transhumanisme, tetapi kita tetap belum dapat « membunuh » kematian. Demikian ungkap Aziliz Claquin dalam majalah mingguan Prancis La Croix : N°42756, yang secara khusus membahas tema seputar kematian selama periode Toussaint yang dimulai sejak hari raya semua orang kudus (1 Nov.) dan peringatan arwah semua beriman sehari berikutnya (Claquin, La Croix, p. 21).
Selama periode Toussaint, kita diajak untuk memaknai dan juga mempersiapkan kematian. Berbicara tentang hari ini (2 Nov.) yang terutama oleh Gereja didedikasikan sebagai peringatan arwah semua orang beriman, saya terhenti pada penggunaan istilah « orang beriman ». Istilah ini secara tidak langsung sudah seperti memberikan jawaban yang sangat gamblang atas segala pertanyaan rumit tentang kematian. Ke mana kita (orang-orang beriman ini) akan beralih sesudah mati? Apa yang terjadi sesudah kita menghembuskan napas terakhir? Bagaimana kita seharusnya memaknai kematian yang selama ini kita saksikan terjadi pada kerabat, saudara, keluarga, atau teman? Semua pertanyaan tersebut, yang tadinya mengerikan dan terus-menerus menjadi bahan refleksi bahkan sejak zaman para filsuf kuno hingga sekarang, seolah sudah terjawab dengan begitu jelas. Dan jawaban itu menenangkan hati yang awalnya gelisah akan kematian. Apakah kematian menjadi suatu akhir cerita? Tidak, life is changed, not ended. Begitulah kira-kira ungkapan kita. Hati kita menjadi tenang karena berpegang pada iman. Namun, jika terburu-buru ingin segera menenangkan hati, bisa jadi realitas kematian itu sendiri tidak mempunyai daya ubah apa pun bagi kita.
« Parler de la mort ne fait pas mourir ! », (Berbicara tentang kematian tidak membuatmu mati!), ungkap Claire Fourcade (La Croix, p. 27). Sebaliknya, dengan terus menghidupkannya dalam ingatan, mungkin bisa membantu kita hidup dengan lebih baik, menjalani hidup apa adanya, yang tidak dapat diprediksi, berharga, dan sekaligus rapuh. Kita pikir orang hiduplah yang bisa menutup mata orang mati, namun sebenarnya orang mati (dan kematian itu sendiri) lah yang akan membuka mata orang hidup.
Salah satu cara untuk bersiap menghadapi kematian adalah dengan hidup secara penuh seperti yang dikatakan Blandine Humbert dalam buku pertamanya, Vivre la Mort (2023). Apa itu hidup secara penuh? Dalam pemikirannya, Humbert mengutip istilah Paul Ricœur, « vivant jusqu’à la mort » (jalani kehidupan sebaik mungkin sampai akhir/mati). Selebihnya bukan urusan kita. Sekalipun kematian itu menciptakan absurditas seperti yang digagas Albert Camus (1913-1960) dalam salah satu karyanya yang sebenarnya belum selesai, yakni Le Premier Homme, tetaplah jalani « jusqu’à la mort ». Tentu saja, dengan tetap menjalani hidup sembari menempatkan absurditas kematian dalam kesadaran, di titik itu, kita telah mengalahkan absurditas; kita telah berhasil memahami Mitos Sisifus dan dapat sungguh-sungguh membayangkan betapa Sisifus bahagia dengan terus-menerus mengulagi tindakan absurd yang sama setiap hari.
Cara hidup « vivant jusqu’à la mort » seperti itu sebenarnya sudah digagas oleh para filsuf zaman kuno. Jelas, karena kematian bukanlah hal baru, para filsuf kuno pun pada waktu itu banyak merefleksikan realitas kematian. Kalau kita pernah mendengar ungkapan « berfilsafat adalah belajar untuk mati », pikiran kita langsung tertuju pada sosok filsuf Prancis, Michel de Montaigne (1533-1592). Montaigne sebenarnya meminjam ungkapan tersebut dari Cicero (106-43 SM) dan Cicero sendiri mengutip dari Platon (428-348 SM).
Selain beberapa tokoh tersebut, ada pula Epikurus dan para filsuf stoikisme seperti Seneca dan Marcus Aurelius. Apa yang mereka ajarkan tentang kematian? « Menolak mati sama artinya dengan tidak menerima hidup. Kita telah menerima kehidupan, maka harus demikian pula pada kematian » (Seneca). “Kematian tidak berarti apa-apa bagi kita, karena ketika kita ADA, kematian itu TIDAK ADA, dan ketika kematian ADA, kita sudah TIDAK ADA » (Epikurus). « Maka, marilah kita meninggalkan kehidupan ini dengan perasaan gembira, seperti buah zaitun yang matang dan jatuh, yang memberkati bumi yang merawatnya, dan bersyukur kepada pohon yang membuatnya tumbuh » (Marcus Aurelius).
Sampai di titik ini, minimal kita sudah berupaya menalar realitas kematian, tanpa terburu-buru sampai pada jawaban akhir, yakni memaknai kematian dalam perspektif iman. Jelas, jika kita mampu menempatkan kematian sebagai sarana untuk hidup secara lebih baik, artinya realitas kematian sudah memberikan daya ubah.
Sekarang, kita boleh menggunakan perspektif iman. Gambaran kita tentang kematian banyak dibentuk oleh gambaran sengsara Kristus. Penderitaannya, sebagaimana dijelaskan dalam Injil, sangat jelas terlihat. Kita melihat penderitaan yang luar biasa, penderitaan yang murni dan sangat mengenaskan. Yesus melewati ketakutan, penderitaan, kesendirian, penolakan, dan bahkan ketidakadilan. Ungkapan ketakutan pun muncul: « Eli, Eli, lama sabachthani ? ». Ia berseru dan kemudian menyerahkan diri-Nya dalam tindakan yang sepenuhnya bebas, dalam suatu pemberian diri yang total dan sempurna: « Ya Bapa, ke dalam tangan-Mu Kuserahkan nyawa-Ku ». Pada momen ini, Yesus mengonfirmasi kematian-Nya dan sekaligus mengonfirmasi kodrat kemanusiaan-Nya.
Lantas bagaimana kita memaknai kematian? Bagaimana terlibat dalam momen di mana segala sesuatu tidak kita ketahui (kecuali langsung melompat ke iman)? Ada beberapa kutipan kata-kata terakhir para tokoh terkenal ketika mereka berbaring di bed dan menghadapi kematian. « Semua baik » (Immanuel Kant); « Mari kita bersulang minum » (Pablo Picasso); « Jangan tangisi saya, saya akan pergi ke tempat asal di mana musik itu terlahir » (J.S. Bach. Jacques Derrida sebelum meninggal pun menulis sebuah puisi yang ia siapkan untuk hari pemakamannya, « Selamat tinggal, entah saya nanti ada di mana (saya tidak tahu), tapi saya akan tetap tersenyum. » Dan memang puisi itu dibacakan oleh anaknya di hari pemakaman Derrida.
Kematian masih menjadi misteri yang tidak jelas (mystère opaque). Terkait dengan ketidakjelasan ini, sekarang kita punya dua cara menghadapi kematian. Cara pertama, « beriman pada hidup » atau sederhananya jalani hidup « jusqu’à la mort » saja, karena banyak hal mengejutkan dan baik akan kita alami selama periode tersebut (Humbert, La Croix, p. 28). Tentu saja, cara ini membantu kita mengalami daya ubah dari realitas kematian. Cara kedua, "beriman pada Tuhan ». Cara ini membuat kita menyadari bahwa kematian (dan juga kehidupan) menyingkapkan kepasifan kita sebagai pengada bertubuh (makhluk berdaging). Dengan menempatkan Tuhan sebagai « causa prima » dan « causa sui » segala sesuatu, kita bukan lagi asal mula kematian (dan kehidupan) kita. Semua itu, ditawarkan kepada kita. Dengan menempatkan keterbatasan kita di hadapan suatu entitas Tuhan, kita pun dapat belajar mencintai diri sendiri dan sekaligus memaknainya sebagai tindakan mencintai entitas tersebut.
Paris, 2 Nov. 2023
Siwi D. JATI
Commentaires
Enregistrer un commentaire