Semar vs Batara Guru

Kemenangan Semar atas Batara Guru
bagi Masyarakat Jawa

Beda lamun
Wus sengsem rehing asamun
Semune ngaksama
Sesamane bangsa sisip
Sarwa sareh saking mardi martotama[1]

(Serat Wédhatama karya KGPA Mangkunegara IV)

Pengantar
            Sudah sejak lama orang Jawa menganut sebuah aliran kebatinan yang bersifat spiritual, yakni kejawen yang dapat disebut pula agama asli orang Jawa. Dalam perkembangan sejarahnya, kejawen berjumpa dengan agama-agama modern lainnya. Dalam perjumpaan tersebut, kejawen tidak sepenuhnya menolak apa yang ditawarkan oleh agama-agama lain melainkan menyerap apa yang baik dan menggunakannya dengan cara mereka.
            Pengaruh agama modern yang pertama kali muncul di Jawa ialah agama Hindu yang dibawa oleh para pedagang dari India. Penonjolan peran Batara Guru (Siwa) dalam dunia pewayangan menjadi salah satu simbol pengaruh agama Hindu. Sebagaimana orang Hindu menyembah dewa-dewi terutama Dewa Siwa, orang Jawa pun pada mulanya terpengaruh dalam hal percaya pada dewa-dewi. Pengaruh agama Hindu yang paling kuat hingga saat ini ialah epos Ramayana dan Mahabarata. Orang Jawa menggunakan dua epos besar tersebut sebagai sarana pendidikan budi pekerti dalam dunia pewayangan.
            Hal yang menarik dalam diri orang Jawa ialah kemampuannya dalam berdialog dengan agama-agama lain tanpa meninggalkan jati diri mereka. Dalam dunia pewayangan, orang Jawa menciptakan tokoh Semar sebagai orang yang setara dengan Batara Guru meskipun cara penampilan mereka berdua seperti halnya langit dan bumi. Kekuatan jati diri kejawen terletak pada kehendak mereka untuk tetap menjaga nilai-nilai kepribadian dan kebudayaan mereka. Semar digambarkan sebagai orang yang mampu mengalahkan Batara Guru. Hal itu menunjukkan betapa tidak ada pengaruh dari manapun yang sanggup menembus kejawen. Tulisan ini menjelaskan bagaimana proses sinkretisme dan negosiasi antara kejawen dan agama Hindu terjadi dengan salah satu contoh konkret, yakni perseteruan antara Batara Guru (India)  dan Semar (Jawa).  
           
Aliran Kebatinan Kejawen
Jawa terkenal dengan aliran kebatinan yang sangat bersifat spiritual yang juga lebih familiar disebut kejawen. Hal ini tidak mengherankan karena sejak zaman kuno, di Jawa sudah ada kerajaan-kerajaan yang terbukti dengan adanya peninggalan-peninggalan berupa benda-benda kuno, prasasti maupun tradisi budaya lokal. Spiritualitas yang kuat ini sudah sejak lama diakui oleh para spiritualis dari beberapa negara yang merasakan bahwa kekuatan gaib yang ada di Jawa tidak kalah dengan tempat-tempat lain yang juga dianggap tua seperti Inca, Tibet, Nepal dan lain-lain.[2]
Kejawen dapat disebut pula sebagai agama asli orang Jawa. Akan tetapi, kejawen bukanlah paganisme atau penyembahan berhala, bukan pula animisme atau pemujaan kepada roh-roh atau makhluk-makhluk halus. Kejawen merupakan kepercayaan kepada Yang Maha Kuasa, Sang Pencipta Hidup, Jagad Raya dan Tuhan. Kejawen sudah ada sejak zaman kabuyutan, yaitu di zaman kuno sebelum Masehi pada waktu di Jawa belum ada sistem pemerintahan kerajaan yang telah terpengaruh Hindu.[3]

Sinkretisme Hindu-Kejawen
Sebelum kedatangan agama Hindu, Budha, Islam dan Kristen ke Jawa, orang Jawa sudah menyembah Tuhan mereka yang biasa disebut Sang Hyang (Yang Mahatinggi), dan Hyang itu menjadi tujuan sesembahan. Selain itu, mereka juga menyebut dengan nama Jawa tulen, seperti Sang Hyang Taya, Sang Hyang Tunggal, Sang Hyang Wenang, dan lain-lain.[4] Paham ketuhanan agama asli ini dilatarbelakangi oleh pandangan mengenai klasifikasi tata alam yang serba dua tetapi satu (loro-loroning atunggul). Latar belakang ini telah melahirkan sikap dan pendekatan Jawa yang selalu terbuka dengan perbedaan, juga ketika menerima pengaruh agama-agama lain.[5]
Pandangan yang secara diametral berbeda tersebut tetap dapat dipersatukan dengan pendekatan-pendekatan budaya. Sebab dunia ini memang terdiri dari dua unsur yang satu sama lain berbeda, tetapi keduanya saling bergantung. Pola ini terbukti telah melahirkan kearifan dalam menyambut perbedaan-perbedaan agama dalam kehidupan bangsa ini pada rentangan sejarah yang panjang.[6]
Terjadinya sinkretisme antara agama Hindu dengan kejawen menyebabkan beberapa jenis kebudayaan Jawa terpengaruh oleh ajaran Hindu. Akan tetapi, kejawen tetap dapat mengendalikan situasi dalam arti pengaruh Hindu tetap diterima dengan baik selama dirasa dapat membantu pendewasaan diri orang Jawa. Dengan demikian, orang Jawa tetap dapat menghidupi semangat dan budaya yang sudah kuat mendarah daging dalam diri mereka.
Disadarai atau tidak, pengaruh agama Hindu bagi orang-orang Jawa sangatlah besar, terutama dalam hal kesenian dan ritual-ritual tradisional. Bahkan ketika Islam semakin kuat pengaruhnya terhadap orang-orang Indonesia pada umumnya, orang Jawa tetap tidak mau meninggalkan kesenian dan ritual-ritual tradisional yang sudah melekat dalam diri mereka.
Selanjutnya, kejawen mengalami perjumpaan dengan agama-agama Hindu, Budha dan Islam. Dari perjumpaan antara kejawen dan agama-agama modern tersebut, sebenarnya Islam memiliki pengaruh yang paling kuat. Akan tetapi, beberapa pengaruh Islam pun masih banyak mengadopsi pengaruh agama yang paling awal datang ke Jawa yang, yakni agama Hindu. Sebagai contoh, para sunan Wali Sanga menggunakan epos Ramayana dan Mahabarata dalam bentuk wayang sebagai sarana dakwah.
Ketika agama Hindu pertama kali masuk ke Jawa, khususnya aliran Siwa, terjadi tegangan antara kejawen dan agama-agama pendatang. Meskipun demikian, tegangan tersebut selalu dapat dibungkus dan diperlunak dengan pola pendekatan budaya yang serba lentur. Dewa-dewa Hindu tetap diterima dan sekaligus disejajarkan dengan dewa-dewa asli Jawa. Sebutan Girinatha, Girindra, Giripati yang semuanya berarti dewa atau penguasa gunung diterapkan bagi Dewa Siwa. Pengaruh agama Hindu berkembang pesat dan mencapai puncaknya pada zaman kerajaan Majapahit.[7]
Salah satu ajaran hinduisme yang terkenal ialah epos Ramayana dan Mahabarata yang juga tertulis dalam Kitab Weda.[8] Oleh kejawen, dua kisah besar tersebut diadopsi dan diterapkan dalam seni kebudayaan wayang kulit di Jawa. Penerapan ajaran tersebut menampilkan tokoh Batara Guru merupakan simbol kebesaran pengaruh agama Hindu di Jawa. Selain Batara Guru, ada tokoh lain, yaitu Semar yang merupakan tokoh khas Jawa dalam dunia pewayangan karena dalam epos aslinya dari India, tokoh Semar tidak pernah muncul.

Kemahakuasaan Batara Guru
Pengaruh agama Hindu sering dilambangkan dengan kemahakuasaan Dewa Siwa yang menjadi dewa dari para dewa. Dalam kepercayaan orang-orang Jawa, sosok Dewa Siwa lebih familiar disebut sebagai Batara Guru. Menurut mitos yang terkandung dalam dunia pewayangan, Sang Hyang Tunggal menurunkan sebuah telur. Dari sebuah telur tersebut, kulitnya menjadi Togog yang menjadi pendamping keburukan. Putih telur menjadi Semar yang menjadi pendamping kebaikan. Sedangkan kuning telur menjadi Batara Guru yang menjadi bapak semua dewa-dewi.[9]
Dari ketiga putera Sang Hyang Tunggal tersebut, Batara Guru menjadi simbol kemahakuasaan karena tinggal di khayangan, sementara Semar dan Togog menjadi simbol kebaikan yang tinggal di dunia. Mereka berdua mengajarkan budi pekerti yang baik kepada kelompok orang-orang baik (Semar), dan kepada kelompok orang-orang jahat (Togog).
Peran Batara Guru lebih ditonjolkan dibandingkan dengan dewa-dewi lainnya. Hal ini dipengaruhi oleh hinduisme yang sangat hormat kepada Dewa Siwa. Pemahaman yang menempatkan Batara Guru berada di atas segala-galanya tidak secara frontal ditolak oleh orang-orang Jawa. Kearifan mereka membuat proses sinkretisme, yakni pertemuan antara Hindu dan kejawen berjalan dengan arif. Pengaruh  agama Hindu diterima dan ajaran-ajaran yang sesuai dengan nilai-nilai yang dihidupi oleh orang-orang Jawa tetap dirawat. Epos Ramayana dan Mahabarata diserap dan dijadikan sarana pengajaran moral nilai-nilai kejawen.[10]

Semar Menaklukkan Batara Guru
Tokoh Semar rupanya lebih menjadi jati diri orang-orang Jawa, yakni role model yang dicita-citakan oleh orang Jawa pada umumnya. Sosok yang lumrah[11] dan mulya[12] yang melekat pada diri Semar dianggap lebih baik daripada sosok mahakuasa seperti Batara Guru. Dengan kata lain, Semar melukiskan sikap dan watak orang-orang Jawa yang sadar diri atau sadar kosmis.[13] Dalam perkembangan selanjutnya, sosok Batara Guru diletakkan di bawah Semar. Dalam Kitab Korawasrama, Batara Guru sudah diletakkan di bawah Sang Hyang Taya atau Sang Hyang Tunggal. Artinya Tuhan orang Jawa sudah berada di atas Tuhan bangsa India.[14]
Sebuah lakon carangan yang dapat mewakili kebangkitan kembali Jawa adalah lakon Semar dadi Bekakak.[15] Dikisahkan ketika berziarah ke makam kakek moyangnya, Begawan Palarasa, Pandawa diperintahkan untuk menangkap Semar untuk dijadikan tumbal bagi syarat kemenangan Perang Baratayuda. Semar tidak bersedia dijadikan tumbal karena permintaan para Pandawa tidak cukup berasalan. Kemudian ia mengajak para Pandawa ke makam Begawan Palarasa. Rupanya Batara Guru berada di balik makam Palarasa itu. Setelah itu, terjadi pertempuran antara Semar dan Batara Guru yang dimenangkan oleh Semar. Lalu dikisahkan bahwa kemenangan Semar atas Batara Guru menjadi simbol kembalinya superioritas Jawa atas pengaruh agama Hindu.

Semar dan Orang Jawa
Semar dalam dunia pewayangan dapat dijadikan simbol sebagai kepercayaan asli orang Jawa yang hidup dengan aliran kejawen mereka. Sementara itu, Batara Guru lebih menyimbolkan pengaruh agama Hindu. Sampai saat ini, sosok siapa itu Semar memang masih misterius. Orang Jawa hanya mengenalnya lewat gara-gara[16] wayang kulit. Di sini Semar digambarkan sebagai seorang yang selalu riang, kendati situasi pakeliran sedang huru-hara. Bahkan saat lakon Baratayuda pun, Semar dan anak-anaknya (Gareng, Petruk dan Bagong) selalu gembira dan cerah.[17]
Menurut pendapat para cendikiawan Jawa, Semar itu “asli Jawa”, dan cukup dianalogikan sebagai idealisme orang-orang Jawa. Semar itu dapat dianalogikan sebagai figur orang Jawa yang anoraga[18], tidak nggaya[19], bisa manjing ajur-ajer[20] dan yang lebih penting lagi, orang Jawa ingin mengedepankan sikap-sikap hidup demikian dalam perilaku nyata. Hal-hal lain yang juga dapat dipahami dari konteks kata-kata mblegeg[21], duweg[22], ugeg-ugeg[23], dan sadulita[24]. Maksudnya, hidup itu cukup saja dan tidak perlu mengharapkan yang tinggi di luar jangkauan.[25]
Kekuasaan itu bukan hal yang utama. Hidup sederhana lebih menjadi bagian dari kepribadian orang Jawa. Perbandingan antara Semar dan Batara Guru, seperti halnya membandingkan antara kesederhanaan dan kekuasaan. Oleh sebab itu, orang Jawa menganggap Semar lebih mulia daripada Batara Guru yang digambarkan sebagai sosok yang menakutkan.
Dalam kisah Ramayana India, Batara Guru digambarkan sebagai Dewa yang tidak tertandingi, banyak orang memuja Siwa supaya mendapatkan berkat dan bukan kutuk. Batara Guru menjadi simbol dari para penguasa dan raja-raja, sedangkan Semar menjadi simbol rakyat jelata yang hidupnya lumrah. Cerita asli India menampilkan Batara Guru sebagai seorang dewa yang susah mengendalikan nafsu-nafsunya. Beberapa tindakannya dilakukan dengan gegabah atas dasar kekuasaan sehingga menimbulkan penyesalan di akhir cerita.[26] Salah satu contohnya ialah ketika Batara Guru ingin bersetubuh dengan istrinya, Dewi Uma secara paksa, sotya[27]-nya turun ke samudera dan menjadi janin Batara Kala. Sebaliknya, Semar justru sering dapat mengendalikan nafsu-nafsu orang-orang yang diarahkannya dengan kebijaksanaan.
Semar sering menangis menyaksikian penderitaan majikannya dan sesama dengan penuh kesabaran. Kekuasaan yang dimiliki Batara Guru membuat ia ditakuti oleh para dewa dan manusia. Sedangkan Semar hanya berperan sebagai penasihat para ksatria yang justru sering disepelekan. Dengan kata lain, deskripsi perbandingan antara Batara Guru dan Semar di atas hendak mengatakan bahwa Batara Guru adalah seorang pemimpin sedangkan Semar ialah abdi yang rendah.
Akan tetapi, perbandingan yang sangat kontradiktoris tersebut tidak melulu membuat orang Jawa bersikap takut dan mengagungkan Batara Guru sebagaimana orang-orang hindu menyembah Siwa. Sebaliknya, satu hal yang tidak bisa diubah dari orang Jawa dengan adanya sinkretisme Hindu-Kejawen ialah peran penguasa seperti Batara Guru. Dengan kata lain, sosok Semar justru dijadikan teladan hidup.

Kesimpulan
Sebagai teladan hidup orang Jawa, Semar telah menaklukkan Batara Guru yang menjadi simbol sifat kuasa dan pengaruh agama Hindu. Dengan demikian, kejawen yang sudah ada sebelum kedatangan agama Hindu tetap hidup dan lestari sampai sekarang karena memiliki sifat yang kuat. Agama lokal kejawen menjadi salah satu contoh eksistensi yang tidak pernah mati di tengah-tengah terpaan badai pengaruh dari budaya maupun agama lainnya. Semua itu karena kejawen dapat bernegosiasi dengan baik dengan pengaruh-pengaruh agama lainnya tanpa kehilangan jati dirinya. Dengan demikian, kejawen dapat larut tetapi tidak hanyut dalam arus perubahan zaman. Semar selalu dapat menaklukkan Batara Guru dan orang Jawa senantiasa merayakan kemenangan itu.  



Daftar Pustaka
Ali, Matius. Filsafat India. Tangerang: Sanggar Luxor, 2010.
Endraswara, Suwardi. Falsafah Hidup Jawa. Yogyakarta: Cakrawala, 2003.
Negoro, Suryo. Kejawen. Surakarta: Buana Raya, 2001.
Noorsena, Bambang. Menyongsong Sang Ratu Adil.Yogyakarta: Andi, 2003.

Sumber Lain
Saputro, Djoko. 2013. “Dualisme Tokoh Semar.” <http://alyaridho.blogspot.com/2013/01/dualisme-tokoh-semar.html> (Diunduh pada tanggal 5 Desember 2013 pukul 12.15 WIB)




[1] Berbeda dengan yang telah berpengalaman dalam hal proses.
Selalu memahami dan menimbang-nimbang segala hal dengan baik, selalu memperhatikan dengan seksama tentang segala hal, selalu sabar dan menjaga agar tidak lepas dari sebuah jalan keutamaan
[2] Suryo Negoro, Kejawen, (Surakarta: Buana Raya, 2001), hlm. 58.
[3] Suryo Negoro, Kejawen, hlm. 58.
[4] Bambang Noorsena, Menyongsong Sang Ratu Adil, (Yogyakarta: Andi, 2003), hlm. 224.
[5] Bambang Noorsena, Menyongsong Sang Ratu Adil, hlm. 243.
[6] Bambang Noorsena, Menyongsong Sang Ratu Adil, hlm. 243.
[7] Bambang Noorsena, Menyongsong Sang Ratu Adil, hlm. 243.
[8] Matius Ali, Filsafat India, (Tangerang: Sanggar Luxor, 2010), hlm. 22.
[9] Suwardi Endraswara, Falsafah Hidup Jawa, (Yogyakarta: Cakrawala, 2003), hlm. 197.
[10] Bambang Noorsena, Menyongsong Sang Ratu Adil, hlm. 246.
[11] Hidup biasa dan sederhana.
[12] Hidup mulia.
[13] Suwardi Endraswara, Falsafah Hidup Jawa, hlm. 198.
[14] Bambang Noorsena, Menyongsong Sang Ratu Adil, hlm. 248.
[15] Semar menjadi tumbal.
[16] Bagian dari pagelaran wayang kulit ketika para punakawan muncul.
[17] Suwardi Endraswara, Falsafah Hidup Jawa, hlm. 196.
[18] Mampu mengendalikan diri.
[19] Belagu atau sombong.
[20] Mampu masuk dan menyatu.
[21] Pendek dan besar.
[22] Puas dan mantap.
[23] Bangun dan tidur.
[24] Sementara.
[25] Suwardi Endraswara, Falsafah Hidup Jawa, hlm. 197.
[26] Djoko Saputro, 2013, “Dualisme Tokoh Semar,” <http://alyaridho.blogspot.com/2013/01/dualisme-tokoh-semar.html>
[27] Sperma. Lih. Bambang Noorsena, Menyongsong Sang Ratu Adil, hlm. 163-164.

Commentaires

  1. Maturnuwun sudah mengeshare artikel yang sangat bermanfaat ini... Mohon ijin untuk sebagian tulisan panjenengan saya kutip dalam tulisan ilmiah saya.. maturnuwun sanget🙏

    RépondreSupprimer

Enregistrer un commentaire

Posts les plus consultés de ce blog

Objektivitas, Nilai-nilai dan Sains sebagai Pengetahuan Sosial

Kepribadian Indonesia Modern (Review)