Hidup yang Terpenjara dalam Absurditas -Albert Camus (1913-1960)-

Hidup yang Terpenjara dalam Absurditas
-Albert Camus (1913-1960)-
           
Ketika dunia dipandang mengandung absurditas sementara manusia membutuhkan suatu kejelasan, apa yang kemudian akan terjadi? Kebutuhan manusia akan kejelasan dan kesadaran akan dunia yang absurd akan mendorong mereka untuk memilih menghindari atau menghadapi absurditas. Menghindari hidup di dunia yang absurd ini sama halnya dengan menghilangkan otentisitas diri sendiri dan menutup kemungkinan akan pemaknaan hidup. Maka, hidup ini harus tetap dijalani dengan usaha yang maksimal dan terus menerus biarpun tampak sia-sia. Begitulah kiranya parafrase yang kurang lebih dapat menggambarkan hidup Albert Camus, seorang sastrawan Prancis kelahiran Aljazair yang hampir sepanjang hidupnya dipenuhi dengan situasi-situasi kritis.
Dalam bukunya yang berjudul Albert Camus, Adele King menuliskan biografi Albert Camus secara terperinci dan lengkap. Salah satu poin penting berkaitan dengan latar belakang kehidupan Camus dalam buku Adele King ialah bahwa Camsu lahir dari keluarga miskin dan tidak berpendidikan di Aljazair.[1] Hidupnya sangat dipengaruhi oleh tiga tragedi besar yang sangat mendominasi sejarah Prancis abad XX, yakni Perang Besar (1914-1918), Perang Dunia II (1939-1945) dan Perang Kemerdekaan Aljazair (1954-1962). Secara umum, ia hidup pada masa-masa kritis dan harus menghadapi berbagai macam kesulitan serta konflik-konflik politik.[2]
Camus lahir pada tanggal 7 November 1913, menjelang Perang Dunia I di sebuah desa kecil bernama Mondovi dekat Constantine yang kemudian lebih dikenal sebagai daerah Prancis-Aljazair. Ia berasal dari keluarga pekerja. Ibunya berasal dari Spanyol dan bekerja sebagai tukang bersih-bersih, sedangkan ayahnya adalah orang Prancis dari keluarga miskin. Dalam novel otobiografi terakhirnya, Le Premier Homme, Camus menuliskan pernyataan bahwa nenek moyangnya berasal dari daerah Alsace dan melarikan diri setelah kekalahan yang dialami Prancis dalam Perang Franco-Prusia tahun 1870-1871. Sejak saat itu, leluhurnya hidup dalam kemiskinan selama beberapa generasi, termasuk sampai generasi ayahnya.[3]
Pada waktu ia berusia satu tahun, ayahnya meninggal dunia setelah sebelumnya direkrut menjadi tentara dan dikirim ke Prancis. Ayahnya menjadi salah satu dari korban-korban pertama dalam Perang Marne. Selanjutnya, ia harus bekerja keras untuk membiayai hidup dan studinya. Meskipun harus dijalani dengan perjuangan berat di tengah situasi kemiskinan dan penyakit TBC yang ia derita, ia akhirnya berhasil menyelesaikan studi filsafat dan memperoleh gelar sarjananya pada 1935 di perguruan tinggi Algiers. Setahun kemudian, ia memperoleh gelar akademik yang setara dengan gelar master untuk presentasi tesisnya yang berjudul Neo-Platonisme et Pensee Chretienne. Setelah itu, ia justru lebih banyak berkarya dan menghabiskan sebagian besar dari hidupnya di luar Prancis. [4]
Dari tahun 1935 sampai 1937, Camus bergabung dengan Partai Komunis Aljazair dengan tujuan supaya ia dapat mewujudkan cita-citanya memperjuangkan kesamaan hak antara bangsa Prancis yang menjajah dengan bangsa asli Aljazair yang terjajah. Namun, dalam waktu yang relatif singkat, Camus memutuskan untuk mengundurkan diri dari partai. Hal itu disebabkan oleh latar belakang pertumbuhan ketegangan politik antara kaum komunis dan kaum nasionalis di Aljazair.  
            Selama Perang Dunia II, ia meninggalkan Aljazair dan pindah ke Prancis. Di Prancis, ia bekerja dengan kelompok perlawanan terhadap pemerintah kolonial. Secara khusus, ia banyak bergerak di bidang literatur. Ia banyak menulis novel dan naskah drama yang beraliran eksistensialisme, antara lain: “The Absurd Man”, “Absurd Reasoning” dan “The Myth of Sisyphus”. Sepanjang hidupnya, Camus sering diadili dengan alasan politis karena novel-novelnya yang berani secara terbuka melawan pemerintah kolonial Prancis.
Pada tahun 1950-an setelah ia keluar dari Partai Komunis Aljazair, ia menjadi seorang jurnalis yang dikenal sangat berani mengkritik paham komunisme. Tahun 1954, ketegangan politik memuncak dan Perang Kemerdekaan Aljazair menjadi hal yang tak terelakkan. Selama perang itu, ia memiliki relasi yang cukup dekat dengan para penganut eksistensialisme lainnya. Salah satunya ialah Jean-Paul Sartre. Namun, relasi itu berangsur renggang setelah Camus memiliki pandangan yang lain dengan Sartre dan sejumlah kaum intelektual lainnya. Sartre dan sejumlah intelektual lainnya memilih untuk memberikan dukungan kepada gerakan nasionalis Aljazair. Namun, Camus berada dalam posisi yang berbeda. Meskipun di satu sisi sebenarnya ia mengkritik kekuasaan kolonial Prancis di Aljazair, di sisi lain ia juga menentang ide kemerdekaan bangsa Arab di Aljazair. Ia lebih memilih mendukung penyatuan negara federal Prancis, Aljazair dan dua negara protektorat Prancis lainnya, yakni Tunisia dan Maroko.[5]
Pada usia 44 tahun, Camus meninggal dunia dalam sebuah kecelakaan mobil kurang dari tiga tahun setelah ia dianugerahi hadiah nobel dalam bidang literatur tahun 1957. Dari tahun 1952 sampai kematiannya, ia menulis dua buah karya fiksi L'Exil et le Royaume dan Le Premier Homme. Karya-karya tersebut hendak mengungkapkan tragedi Aljazair yang terdiri dari konflik-konflik politik dan sosial. Dalam novel terakhir dan yang belum selesai sebagaimana juga terdapat dalam di dua cerita pendek yang dikumpulkan dalam L'Exil et le Royaume, 'L'Hôte' dan 'La Femme adultère', Camus menguraikan tentang apa yang ia lihat sebagai masalah utama masyarakat Aljazair. Masalah utamanya tidak lain ialah kemustahilan komunikasi antara bangsa Prancis dan Arab, karena mereka berbicara dengan bahasa yang berbeda sehingga tidak dapat membaur.[6] Itulah sebabnya konflik politik berlangsung lama dan sulit mencapai penyelesaian masalah.
Dengan latar belakang hidup yang berat dan sering mengalami konflik politik dan konflik-konflik lainnya, dapat dikatakan bahwa Camus telah terpenjara hampir di sepanjang hidupnya dalam sebuah absurditas dunia. Hidunya terpenjara dalam situasi yang kritis dengan situasi lingkungan dan politik yang kacau. Itulah mengapa ia memberikan cara pemikiran tentang dunia yang absurd di mana sebenarnya dunia ini tidaklah harmonis melainkan absurd. Absurditas yang tampak di dunia ini ialah bentuk-bentuk ketidakjelasan dalam tujuan dan makna kehidupan manusia. Ketika kesadaran akan dunia yang absurd ini muncul dan diakui manusia, hal ini dapat menjadi sebuah gertakan karena hidup tanpa tujuan dan arah yang jelas adalah sebuah kesia-siaan. Lantas manusia cenderung memilih untuk melarikan diri dengan cara bunuh diri. Namun, ia tidak menghendaki untuk berhenti atau bunuh diri, melainkan terus menjalani apa yang ada di hadapannya sebaik mungkin. Camus mengatakan bahwa kehidupan itu sebaiknya dihidupi dengan cara menghidupi yang absurd itu sendiri. Hanya dengan menghidupi yang absurd itulah, manusia dapat menentukan otentisitas dan kebahagiaan dirinya.  (Antonius Siwi DJ)




Daftar Pustaka
J. Hughes, Edward, Ed. The Cambridge Companion to Camus. Cambridge: Cambridge University Press, 2007.
King, Adele. Albert Camus. London: Haus Publishing, 2010.

Sumber Lain
Adi Pradhana, Mamor dan Nasrul Chotib, Mochamad (Riset dan Analisis). 2014. “Albert Camus”. <http://profil.merdeka.com/mancanegara/a/albert-camus/>. Diunduh pada tanggal 28 Agustus 2014, pukul 23.00 WIB.




[1] Adele King, Albert Camus (London: Haus Publishing, 2010)
[2] Edward J. Hughes, Ed., The Cambridge Companion to Camus (Cambridge: Cambridge University Press, 2007), hlm. 13.
[3] Edward J. Hughes, Ed., The Cambridge Companion to Camus, hlm. 13.
[4] Mamor Adi Pradhana dan Mochamad Nasrul Chotib (Riset dan Analisis), 2014, “Albert Camus”, <http://profil.merdeka.com/mancanegara/a/albert-camus/>


[5] Edward J. Hughes, Ed., The Cambridge Companion to Camus, hlm. 21
[6] Edward J. Hughes, Ed., The Cambridge Companion to Camus, hlm. 22

Commentaires

Posts les plus consultés de ce blog

Semar vs Batara Guru

Objektivitas, Nilai-nilai dan Sains sebagai Pengetahuan Sosial

Kepribadian Indonesia Modern (Review)