Leo Tolstoy vs Albert Camus

Iman: Jawaban akan Makna Kehidupan
-Leo Tolstoy (1829-1910)-

Pengantar
Dalam artikel “Faith Provides Life’s Meaning”, Leo Tolstoy, seorang novelis dan pembaharu buruh tani Rusia mengatakan bahwa hanya iman yang dapat menjawab pertanyaan makna kehidupan. Pertanyaan mengenai makna kehidupan sudah berabad-abad lamanya diperdebatkan oleh banyak filsuf. Sebagai seorang novelis, Tolstoy memasukkan unsur filsafat terutama yang berkaitan dengan pertanyaan makna kehidupan dalam seluruh tulisan-tulisannya. Selain pertanyaan akan makna kehidupan, beberapa poin yang penting dalam artikel ini ialah istilah-istilah filosofis antara lain: penangkapan kehidupan, kebenaran dan seni.
            Penangkapan kehidupan ialah tindakan-tindakan yang dilakukan manusia tanpa mengerti apa maksud dan tujuannya. Sementara itu, yang dimaksud dengan kebenaran ialah kenyataan bahwa semua orang akan mengalami kematian. Tolstoy menganggap bahwa kematian adalah satu-satunya kebenaran, dan segala sesuatu yang lain adalah tipuan. Dengan kata lain, kebenaran yang ia maksud ialah kenyataan bahwa ia akan mati. Awalnya ia meyakini bahwa seni dapat makna kehidupan, namun akhirnya ia menyadari bahwa semua itu hanyalah sebuah perhiasan atau tipuan hidup. Seni yang dimaksud Tolstoy adalah cinta keluarga dan kariernya yang tidak lagi terasa manis baginya. Sementara itu, makna kehidupan sendiri masih menjadi pertanyaan besarnya. Pertanyaan itu berangkali muncul karena Tolstoy sedang mengalami krisis tengah umur di mana ia merindukan makna kehidupannya. Sebelum sampai pada kesimpulan bahwa iman merupakan satu-satunya jawaban atas pertanyaan mengenai makna kehidupan, Tolstoy terlebih dahulu mencari dan mencoba menemukan makna kehidupan melalui pendekatan ilmiah, yakni melalui ilmu pengetahuan rasional. Dalam tulisan ini, akan dibahas latar belakang kehidupan Leo Tolstoy yang sedikit banyak mempengaruhi pemikirannya, pendekatan ilmiah dan teologis yang ia gunakan untuk menjawab pertanyaan akan makna kehidupan serta kesimpulan akhir dari tulisan Tolstoy ini.

Latar Belakang  Kehidupan Tolstoy
Dalam rangka memahami teks ini, sekiranya baik untuk melihat terlebih dahulu latar belakang kehidupan Tolstoy sehingga kita dapat menemukan tautan-tautannya dengan cara pemikiran dan tindakan-tindakannya. Tolstoy hidup pada tahun 1828-1910. Tulisan-tulisannya yang paling terkenal antara lain “War and Peace” (1863-1869) dan “Anna Karenina” (1873-1877). Dalam “God’s Elder Brother”[1], disebutkan bahwa Tolstoy adalah seorang pribadi yang ambisius. Ia berambisi untuk mengubah moral masyarakat dengan kekuatan intelektual serta keunggulan hidup rohaninya. Sementara itu, bakat menulisnya ditemukan saat ia menjadi perwira magang. Selama menjadi perwira, ia ikut bertempur di medan perang dengan gagah berani.
Tolstoy berasal dari keluarga bangsawan yang menguasai tanah yang sangat luas dan menjalankan perbudakan. Di kemudian hari, tanah dan budak-budak keluarganya diwariskan kepada Tolstoy. Masa mudanya dihabiskan untuk berjudi dan berpetualang cinta. Pada tahun 1865, ia memulai usaha reformasi buruh tani dengan mencetuskan emansipasi bagi buruh dan budak sebagai ganti atas upah kerja mereka selama 30 tahun melalui pendidikan. Meski bercita-cita membawa kemajuan moral, ia juga merupakan seorang otoriter dan pembenci demokrasi di negaranya. Kebenciannya akan tradisi liberal di Rusia terungkap dalam novel “War and Peace”. Di masa tuanya, Tolstoy menikmati ketenaran dan kekuasaan dengan membentuk pemerintahan di istananya. Keluarganya menjadi korban ambisinya yang abstrak tersebut. Tanggal 28 Oktober 1910, Tolstoy mendapati Sonya, isterinya sedang membaca tulisan-tulisannya dan mungkin juga rahasia-rahasianya. Lalu, ia berkata kepada Alexandra, putrinya bahwa ia akan pergi selama-lamanya. Tanggal 1 November 1877, Tolstoy jatuh sakit karena bronchitis dan pneumonia dan akhirnya meninggal.

 Pendekatan Ilmiah
Pada mulanya, Tolstoy hendak mencari jawaban tersebut melalui pendekatan ilmiah, yakni dengan menggunakan ilmu pengetahuan rasional. Akan tetapi, pendekatan ilmiah tersebut tidak memberikan jawaban yang pasti akan makna kehidupan. Sebaliknya, pendekatan tersebut justru memberikan jawaban-jawaban yang sebenarnya tidak ia pertanyakan, misalnya penjelasan tentang komposisi bintang-bintang, unsur-unsur eter dalam kajian ilmu kimia dan asal-usul spesies makhluk hidup dalam kajian ilmu hayat, dll. Tolstoy merasa bahwa ketika ia mencari jawaban makna kehidupan melalui pendekatan ilmiah, dirinya seolah-olah terjebak dalam kegelapan di hutan yang sulit untuk menemukan jalan keluar.
Ia kemudian berpikir bahwa kehidupan itu memiliki makna tetapi tidak pernah dapat mengerti. Jawaban-jawaban yang dapat dijelaskan oleh ilmu pengetahuan rasional bahkan justru menutup segala kemungkinan akan pemaknaan kehidupan. Kemudian, ia mulai bertanya-tanya apakah ia seharusnya tidak menanyakan makna kehidupan kepada orang-orang terpelajar atau para ilmuwan tetapi kepada para pekerja yang sebenarnya telah menghayati makna kehidupan.
Selanjutnya, ia berpaling ke arah pendekatan teologis yakni dengan meyakini bahwa iman merupakan satu-satunya cara di mana jawaban akan pertanyaan-pertanyaannya ditemukan.

Pendekatan Teologis
Ketika pendekatan ilmiah sudah tidak mampu lagi memberikan jawaban atas apa itu makna kehidupan, Tolstoy beralih ke pendekatan teologis di mana jawaban yang diberikan oleh iman justru memberikan penjelasan yang lebih konkret dan definitif yakni jawaban atas pertanyaan mengenai bagaimana seseorang harus hidup sederhana menurut hukum-hukum Allah. Jawaban untuk pertanyaan apa yang akan dihasilkan dari kehidupan bersifat nyata dan jelas, yakni kebahagiaan abadi atau siksaan kekal. Dengan kata lain, tanpa iman, kematian akan menghancurkan semua makna kehidupan. Hanya dengan iman, persatuan dengan Allah yang tak terbatas mampu bertahan dalam kematian dan menyediakan kehidupan dengan makna yang kekal.
Dengan demikian, Tolstoy mulai percaya dan mengakui bahwa iman adalah sesuatu yang jauh lebih dalam daripada ilmu pengetahuan yakni pengetahuan tentang makna kehidupan manusia. Ia berusaha menumbuhkan persahabatan dengan banyak orang beriman sebaik mungkin, dan melihat banyak aspek keberadaan mereka yang lebih menarik daripada kehidupan para ilmuwan.
Selanjutnya, Tolstoy mulai mencintai orang-orang beriman tersebut, dan setelah menghabiskan dua tahun berada bersama di antara mereka, ia mengalami sebuah transformasi. Tolstoy tidak mengklaim bahwa ia telah terpengaruh oleh argumentasi yang logis mengenai eksistensi Tuhan maupun oleh wahyu ilahi tiba-tiba dan ajaib. Ia hanya mengadopsi sistem kepercayaan masyarakat karena itu lebih menarik baginya secara emosional. Oleh sebab itu, ia berusaha untuk menempatkan diri sendiri dalam kesejahteraan psikologis atas rasionalitas, dan mengadopsi iman irasional.

Kesimpulan
            Bagi Tolstoy, pertanyaan filosofis yang menjadi bahan perdebatan para filsuf selama berabad-abad yakni mengenai makna kehidupan pada akhirnya dijawab oleh iman. Sebagai orang yang sedang mengalami krisis tengah umur, Tolstoy menemui semacam kebingungan dalam memaknai hidupnya. Ia tidak dapat menemukan solusi atau jawaban mengenai makna kehidupan melalui ilmu pengetahuan yang rasional. Akan tetapi, ia berhasil menemukannya melalui iman di mana ia belajar dari para buruh yang tidak pernah risau mengenai makna kehidupan dan justru dengan iman, mereka mampu memaknai kehidupan dengan hidup yang baik. 


Menghidupi yang Absurd
-Albert Camus (1913-1960)-
Pengantar
Albert Camus adalah seorang penulis novel dan naskah drama dari Prancis yang banyak menulis sastra-sastra eksistensialis. “Each Person Gives His Own Life Meaning” merupakan salah satu tulisan Camus sendiri disadur dari kumpulan esai yang ditulisnya antara lain: “The Absurd Man” (Si Manusia Absurd), “Absurd Reasoning” (Penalaran Absurd) dan “The Myth of Sisyphus” (Mitos Sisifus).
Kisah Sisifus merupakan salah satu kisah mitologi Yunani yang kurang lebih menggambarkan usaha manusia yang menghidupi kesia-siaan dalam rutinitas. Ia adalah anak dewa angin yang dihukum untuk mendorong batu karang ke puncak gunung karena dosa-dosa yang dilakukannya. Tindakan mendorong batu karang tersebut merupakan tindakan yang sia-sia karena tidak akan pernah mencapai keberhasilan. Batu itu akan menggelinding kembali sebelum mencapai puncak. Tidak ada hukuman yang lebih berat daripada melakukan hal yang sia-sia. Kesia-siaan itulah yang menjadi analogi Camus untuk memberikan penjelasan mengenai absurditas.

Ketika seseorang mulai menyadari bahwa ia terlahir di dalam dunia yang absurd, ada pilihan-pilihan yang dapat diambil, yakni bunuh diri atau menghidupi yang absurd itu. Itulah yang dinamakan kebebasan absurd. Esensi kebebasan absurd adalah bahwa dengan menolak kemungkinan makna transenden untuk hidup, ia bebas untuk menentukan arti hidupnya sendiri. Camus lebih menganjurkan supaya manusia berani menghidupi yang absurd karena dengan menghidupi yang absurd itu, mereka menunjukkan otentisitas dalam hidup. Orang yang dapat berusaha dan hidup secara otentik merupakan orang yang berbahagia. Hal ini juga digambarkan dalam kisah Sisifus di mana akhirnya ia menemukan kebahagiaan dengan tetap berusaha menghidupi yang sia-sia di dunia.
Dalam artikel Camus ini, ia mencoba mengkaitkan fenomena dunia yang absurd dengan bunuh diri. Secara keseluruhan tulisan ini juga hendak menjelaskan sedikit mengenai latar belakang kehidupan Camus, konsep absurditas, konsep bunuh diri dan juga kesimpulan dari pemikiran Camus yang tertulis dalam artikel “Each Person Gives His Own Life Meaning” ini.


Latar Belakang Kehidupan Albert Camus
            Dalam bukunya yang berjudul Albert Camus, Adele King menuliskan biografi Albert Camus secara terperinci dan lengkap. Beberapa poin yang dirasa penting mengenai latar belakang kehidupan Camus antara lain ialah Albert Camus lahir dari keluarga miskin dan tidak terdidik di Aljazair. Ayahnya meninggal ketika ia berusia satu tahun. Ia sangat berbeda dengan kalangan intelektual borjuis di Prancis. Sebagai seorang jurnalis, ia terlibat dalam membela hak-hak orang-orang muslim. Situasi itu membawanya ke dalam konflik dengan partai komunis yang dia adalah anggota untuk sementara waktu. Seringkali terjadi konflik antara Camus dan komunis serta para pendukungknya karena ia memandang sebab-sebab politik dalam kehidupan orang-orang dan bukan berdasarkan ide-ide abstrak.
            Selama perang dunia kedua, ia pindah ke Prancis dan bekerja dengan perlawanan sehingga di kemudian hari ia menjadi salah satu yang menonjol pasca-perang intelektual Paris. Ia dikenal sebagai seorang jurnalis yang berani mengkritik paham komunisme pada tahun 1950-an. Sepanjang hidupnya, Camus sering diadili dengan alasan politis karena novel-novelnya yang berani melawan pemerintah. Pada usia 44 tahun, ia meninggal dunia dalam sebuah kecelakaan mobil kurang dari tiga tahun setelah ia dianugerahi hadiah nobel dalam bidang literatur tahun 1957.  Dengan latar belakang hidup yang sering mengalami konflik politis, Camus barangkali merasa dunia yang dihidupinya itu mengandung absurditas. Selanjutnya, akan dibahas secara lebih khusus mengenai absurditas. 

Absurditas
Absurditas merupakan suatu keadaan di luar kemampuan rasional manusia. Absurditas itu terjadi manakala ada pemisahan antara manusia dan dunia. Analoginya kurang lebih seperti pemisahan antara sebuah peran dalam drama dengan aktornya. Pemisahan itu mengakibatkan manusia tidak dapat hidup sesuai dengan apa yang diinginkannya. Sesuatu yang absurd atau absurditas itu memiliki dua unsur yakni kenyataan bahwa dunia itu irasional dan kebutuhan manusia akan kejelasan. Dengan kata lain, ada semacam pemisahan antara manusia dan dunia. Apabila kedua unsur itu bertemu, akan memunculkan absurditas.         Absurditas ini mendapatkan reaksi dari manusia antara lain pemberontakan daging di mana manusia mulai merasa bahwa setiap detik yang dimiliki di dunia telah dilewatkan dengan sia-sia. Banyak orang menghindari masalah dengan hidup bukan untuk hidup itu sendiri tetapi untuk beberapa ide yang melampaui dan memberinya makna namun upaya tersebut hampir selalu gagal. Untuk menerima yang absurd ini berarti juga menerima bahwa keinginan eksistensial yang paling kuat seseorang tidak pernah dapat dipenuhi. Setelah manusia mulai dapat menyadari dan menerima yang absurd, semua harus dikorbankan dan dilakukan untuk yang absurd itu.


Bunuh Diri
Persoalan utama filsafat ialah pertanyaan mengenai makna kehidupan di mana setelah itu muncul peristiwa bunuh diri. Manusia memilih untuk mengakhiri hidup mereka sendiri karena merasa dunia ini tidak layak untuk dihidupi. Kematian seolah-olah menjadi pilihan ketika mereka menghadapi dunia yang absurd. Kaitan antara dua unsur aburditas tersebut sebenarnya hendak mengatakan bahwa kebutuhan manusia tidak dapat dijawab oleh dunia. Dengan kata lain, dunia tidak dapat mereduksi kebutuhan manusia akan kejelasan. Dengan demikian, manusia tidak akan mampu mengendalikan dunia. Bagi Camus, dunia yang absurd ini tetap layak untuk dihidupi karena jika kita membiarkan diri mati, sama halnya dengan mengelak dari dunia. Hanya dengan menghadapi yang absurd itu, manusia dapat bertindak secara otentik. Oleh sebab itu, manusia semestinya harus menghindari memikirkan sesuatu yang memberikan harapan akan masa depan karena hal itu akan membuat nyaman sehingga unsur kebutuhan manusia akan kejelasan mati. Bagi Camus, ketika dengan sengaja manusia membunuh kebutuhan itu, hal itu disebut bunuh diri secara filosofis.


Kesimpulan
Tulisan ini diawali dan diakhiri dengan pertanyaan apakah hidup ini layak untuk dihidupi. Dunia memang mengandung absurditas, sementara manusia membutuhkan suatu kejelasan. Kebutuhan manusia akan kejelasan dan kesadaran akan dunia yang absurd mendorong mereka untuk memilih menghindar atau menghadapi. Menghindari hidup di dunia yang absurd ini sama halnya dengan menghilangkan otentisitas diri sendiri dan menutup kemungkinan akan pemaknaan kehidupan. Oleh sebab itu, hidup ini harus tetap dijalani dengan usaha yang maksimal dan terus menerus biarpun tampak sia-sia.


Tanggapan Kritis atas Tulisan Leo Tolstoy dan Albert Camus
            Dua buah tulisan Leo Tolstoy dan Albert Camus menyatakan pemikiran yang berlawanan satu sama lain. Tolstoy mengatakan dengan tegas bahwa makna kehidupan itu dapat ditemukan dalam iman dan hanya imanlah yang dapat menjawab absurditas dunia. Sementara itu, Camus justru mengatakan bahwa kehidupan itu sebaiknya dihidupi dengan menghidupi yang absurd itu. Iman hanya menjadi semacam cara untuk menghindar dari dunia yang absurd atau bunuh diri secara filosofis. Keberadaan iman atau harapan-harapan akan masa depan menurut Camus dapat mematikan kebutuhan manusia akan kejelasan.
            Dari dua pendapat yang bertentangan ini, saya hanya ingin memberikan komentar mengenai cara berpikir setiap penulis yakni Leo Tolstoy dan Albert Camus. Tolstoy terkesan terlalu mengabaikan aspek ilmu pengetahuan. Dari tulisannya, tampak sekali bagaimana ia cenderung memilih sebuah jalan pintas yang mudah untuk menjawab pertanyaan mendasar filsafat yakni makna kehidupan. Memang ditunjukkan momen-momen di saat ia mencari makna kehidupan melalui pendekatan ilmiah, namun bagi saya, alasan-alasan yang disebutkan sampai akhirnya ia menyimpulkan bahwa ilmu pengetahuan tidak dapat menjelaskan makna kehidupan kurang begitu kuat. Barangkali ini disebabkan oleh latar belakang hidupnya di mana sebenarnya ia kurang memiliki dasar ilmiah sepanjang riwayat hidupnya. Jadi, kesimpulan yang ditariknya kurang mencakup keseimbangan antara iman dan ilmu pengetahuan. Menurut saya, seandainya pemikirannya didasarkan atas integrasi antara ilmu pengetahuan dan iman, hal itu dapat menambah unsur obyektif dalam pemikirannya.

            Pendapat Albert Camus bagi saya lebih logis dengan membandingkan antara fenomena sosial bunuh diri dengan kenyataan absurditas dunia. Albert Camus memberikan cara pemikiran tentang dunia yang absurd di mana sebenarnya dunia ini tidaklah harmonis melainkan absurd. Absurditas yang tampak di dunia ini ialah bentuk-bentuk ketidakjelasan dalam tujuan dan makna kehidupan manusia. Ketika kesadaran akan dunia yang absurd ini muncul dan diakui manusia, hal ini dapat menjadi sebuah gertakan karena hidup tanpa tujuan dan arah yang jelas adalah sebuah kesia-siaan. Lantas manusia cenderung memilih untuk melarikan diri dengan cara bunuh diri. Dari apa yang menjadi pemikiran Camus, saya merasa bahwa fenomena bunuh diri bisa dilihat dari sudut pandang filsafat di mana bukan berarti mematikan diri secara fisis melainkan juga menciptakan sesuatu yang dapat menghilangkan absurditas.
Barangkali sarana-sarana seperti agama, pengharapan akan masa depan dan lain sebagainya merupakan sarana untuk bunuh diri karena semua itu dapat menjadikan dunia yang sebenarnya irasional ini menjadi jelas. Dalam kaca mata orang beriman, pendapat Camus barangkali sangat kontroversial karena secara tidak langsung Camus mengajak orang-orang untuk tidak beriman, melainkan menghidupi yang absurd di dunia hic et nunc. Hanya dengan menghidupi yang absurd itulah, manusia dapat menentukan otentisitas dan kebahagiaan dirinya.
Pemikiran Camus yang hebat mengenai konsep absurditas dan bunuh diri ini rasanya kurang lengkap karena seperti tidak menyimpulkan apa-apa. Dengan kata lain, Albert Camus tidak menemukan solusi yang tepat mengenai cara-cara menghidupi dunia yang absurd ini, selain hanya menekankan bahwa dunia itu absurd tetapi layak untuk dihidupi. Tolstoy lebih tegas dalam hal memberikan solusi yakni hanya iman sebagai jawaban makna kehidupan. Albert Camus seolah-olah menjadi seorang pemikir dan penganalisa yang hebat tetapi bukan pemecah persoalan. Hal itu tampak dalam fenomena bunuh diri dan kekecewaan manusia yang mendalam akan makna kehidupan masih sering terjadi. Apa yang dikatakan Camus bahwa manusia semestinya tetap berusaha menghidupi yang absurd menjadi sangat riskan untuk dijalankan karena kurang nyata dalam kehidupan sehari-hari.
Sebagai kesimpulan akhir tanggapan kritis saya terhadap dua buah teks yang ditulis oleh Leo Tolstoy dan Albert Camus, pemikiran filsafat yang sehat dan obyektif membutuhkan faktor keseimbangan dan integritas antara ilmu pengetahuan dan iman. Selain itu, sebuah pemikiran yang baik semestinya mengandung sebuah solusi atau tidak mengambang begitu saja/



























[1] Tolstoy, Leo. “God’s Elder Brother”. Disadur oleh C. Bayu Risanto. Majalah Basis Nomor 01-02, Tahun ke-62, 2013, 36-43. 

Commentaires

Posts les plus consultés de ce blog

Semar vs Batara Guru

Objektivitas, Nilai-nilai dan Sains sebagai Pengetahuan Sosial

Kepribadian Indonesia Modern (Review)